A Novel-Werbung

Kelaparan, hening, mencekam, syahdu dan menarik perhatian. Pedati bermuatan bermacam jenis makhluk, sarat berjalan terhoyong-hoyong. Penuh kelambanan. Melewati rerumputan yang menghijau, pepohonan yang menguning, penuh keindahan. Daun-daun berguguran di sepanjang jalan, menumpuk dan bertebangan keseluruh penjuru alam, entah kemana, entah sampai dimana. Diikuti gerakan biji-bijian yang tak kalah cepat terbang mengepakkan kelo­pak-kelopaknya, dan tumbuh ke semesta bumi.
Tiba-tiba pedati berhenti, sapi penariknya tak berjalan. Kakinya yang kuat diam menancap ke tanah. Sais berteriak, “ada yang tak beres dengan Kiliz!” Ia menamai sapinya dengan Kiliz, pahlawan Norwendia saat berperang dengan tentara Inggris. Sapi itu memang layak dinamai Kiliz, ia gagah, kulitnya kemerahan seperti baju bulu serigala yang dikenakan sang pahlawan Kiliz. Baju yang menyala dileleri dengan darah musuhnya. Entah sudah berapa ratus musuh yang mati ditangannya sebelum ia sendiri mati tertancam tombak yang diarahkan tepat dijantungnya saat perang di Owersight. Para musuhnya sebenarnya tak akan mungkin bisa membinuh Kiliz kalau saja Kiliz tidak dalam keadaan mabuk. Namun perempuan muda yang cantik jelita yang dikirim musuhnya, jenderal Ondegano, memikatnya dan selanjutnya membuatnya mabuk semalaman. Serangan jenderal Ondregano dibuka tepat setelah perempuan kiriman itu keluar dari rumah Kiliz. Kiliz pun dikeroyok dari segala arah. Mulanya ia mampu melawan, dan sempat membunuh beberapa pasukan Inggris, tapi apa daya musuhnya lebih banyak. Ia pun mati. Namun Kiliz tak pernah mati bagi orang Norwendia. Dijadikan semangat dalam hati mereka. Begitu juga oleh sang sais pedati ini.
Dan sekarang Kiliz, sapi pedati itu tak mau berjalan atau enggan. Kiliz hanya terus meringkik. Sais turun untuk memeriksanya, dielusnya leher Kiliz penuh kasih sayang. Penumpang hanya bisa memandang. Sais orang sendiri di Wndy’s, kota kecil di Norwendia. Ia sudah tak punya keluarga lagi. Kini ia menggantungkan hidupnya pada Kiliz. Maka wajar ia sangat sayang dengannya.
Sais naik kembali ke pedati, dipandanginya para penumpang dengan tatapan sedih, “maaf salah satu dari kalian harus turun” katanya kepada para penumpang. Para penumpang berpandangan, heran. “Ada apa pak Tua?” Tanya salah seorang penumpang, pemuda separuh baya, memegang tongkat perak ditangan kanannya. Sementara di tangan kirinya membawa seguci kecil arak penuh anggur. Orang ini nampaknya hendak ke Erty, lembah kecil yang sangat terkenal dengan anggurnya. Orang-orang diseluruh Norwendia kesana ketika kehabisan anggur. Lembah Erty sendiri tak jauh lagi dari situ. Tinggal naik satu gunung lagi. “Aku sebentar lagi pun akan turun” katanya menambahkan. Sais yang memang sudah cukup tua itu menggeleng, “Kiliz, sapiku tak mau jalan. Sepertinya diantara kita ada yang membawa bala', dan Kiliz sangat perasa. Dia tak ingin terjadi apa-apa pada kita.” Seorang ibu tua berdiri, kelihatannya ia marah, “kenapa kau tak bilang dari kampung Dizzapear, sehingga kalau salah satu dari kita turun kita bia naik pedati lainnya.” Ia berkata keras sambil mengibaskan ekornya yang panjang. Ibu ini pasti dari Hubretz, kampung kecil beisikan manuia setengah musang. Sais meng­gangkat bahu “tak tahu, mungkin perasaan itu baru dirasakan Kiliz sekarang”
“Hei, apa kau begitu percaya dengan seekor sapi!” Anak muda berbaju merah muda yang mencolok, mendengus kesal, ia tak mau turun kalau nanti diminta gara-gara seekor sapi! Sais menatap marah, baginya Kiliz bukan seekor sapi biasa. Ia saudaranya. Ia begitu sayang padanya. “Pokoknya salah satu diantara kalian harus turun, kita akan buat undian untuk menentukannya!” Semua orang risau, undian adalah media untung-untungan, kalau dia dapat mampuslah karena hutan ini masih diwilayah Grown, monster-monster kecil pemakan manusia. Sudah banyak cerita manusia mati tak berbentuk rupa ketika lewat di hutan ini. Namun tak ada pilihan lain. Undian harus mereka ambil karena ini perintah sais. Semua orang dapat kartu remi model Orstyoy yang berbeda. Siapa yang dapat kartu Joker tertawa berarti akan turun. Semua orang cemas. Berdoa, mengharap Joker tak ada di tangan salah satu dari mereka. Akhirnya semua disuruh membuka kartunya masing-masing. Pemuda berbaju merah muda menjerit tertahan, kartu joker ada di tangannya! Dan Joker itu benar-benar tertawa padanya!
“Kenapa aku?!” Katanya sembari berdiri, ketakutan tampaknya.. ”Aku tak mau turun!”
“Sudah takdirmu!” Kata sais, penumpang yang lain mengangguk. Tentu mereka senang bukan mereka yang harus turun, dan berjalan di hutan Grown yang angker.
“Turunlah..” kata sais “Aku akan melanjutkan perjalanan, harap kau berhati-hati”
Pemuda itu akhirnya hanya menyumpah-nyumpah, ia pun turun dan menghempaskannya pantatnya ke tanah. Sembari memandangi pedati menjauh dan menghilang dibalik tikungan. Benar saja, Kiliz berlari cepat setelah ia turun. Berarti benar dia pembawa bala'nya? Bala' apa? Dia tak tahu. Yang dia tahu dia lagi sial. Sais, dan pedati melaju kencang. Raib hilang di kegelapan malam.
Tak tahu apa yang harus dilakukan ia mencoba bangkit dan mengarahkan pandangan, tapi gelap dan dia tak tahu jalan.
“Kemana harus kupergi? Ini hutan Grown.” Pemuda itu jadi ingat kisah-kisah yang menyeramkan akan hutan itu. Moster Grown, serigala buas, Libiu penghisap darah... semua itu sudah membangkitkan bulu kuduknya. Ia coba terus memberanikan diri. “Hutan ini gelap dan bau hawa kematian!” Desisnya.
“Sialan!!” ia hanya bisa meruntuk. Dan runtukannya tak membuahkan apa-apa. Malam tetap malam, dan matahari masih asyik dalam peraduan.
“Biarlah aku disini saja, ini kan jalan raya, siapa tahu ada pedati lain yang akan lewat dan membawaku pergi dari hutan mengerikan ini”
Ia pun menunggu sambil terus melihat kesekeliling. Bisa saja monster-monster penunggu hutan itu datang dan menyergapnya tanpa dia bisa siap melawan. Disiapkan pedang peninggalan kakeknya. Ia sebenarnya sangat ketakutan, dia tidak ingin mati sekarang. Masih banyak hal yang ingin ia kerjakan. Namun lama ia menunggu dan menunggu, sampai matanya terserang kantuk dan tertidur, tak ada satu pun monster yang datang. Sampai fajar datang tak ada satu pedati pun lewat, dan ia masih terlelap.
Sungguh indah ciptaan Tuhan, ketika pagi datang, sinar matahari yang terang membangunkan seluruh alam, termasuk seluruh penghuni hutan. Katak, burung, rusa, kera, harimau terbangun dan mengeluarkan suaranya masing. Bersahut-sahutan. Ketika sang raja hutan mengaum kencang membangunkan sang pemuda. Terbangun ia, terkaget dan lari sekencang-kencangnya. Pemuda itu berpikir harimau itu tepat dibelakangnya, dan siap untuk menerkamnya. Ketika ia lihat kebelakang hanya ada seekor kijang Bulweis yang pintar berbahasa manusia, membawa sebuah bungkusan. Karena sedang lapar pemuda ini berkata,
“Hai Bulweis, Kemari teman, boleh aku minta dagingmu, biar kupanggang, karena aku kelaparan” pemuda itu memang lapar dan sangat lapar karena dari kemaren ia tidak makan.
Kijang meletakkan bawaannya didalamnya ada sekerat daging panggang yang siap dimakan.
“Makanlah... itu daging anakku, mungkin sedap bila kau makan”
Pemuda itu mendelik, kijang itu membunuh anaknya sendiri, kenapa?
“Sayang, kenapa anakmu sendiri kau bunuh, apa salahnya!?
“Anak ini anak durhaka kepada orang tua, sudah capek aku merawatnya, berani benar dia melawanku”
“Akhirnya kutubruk dia dengan tandukku ketika ia lengah dan dagingnya sudah kubagi-bagikan, inilah sisanya. Ambillah aku ikhlas.”
“Terima kasih” Kata sang pemuda, ia mulai menyalakan api dengan rerumputan dan ranting kering. Setelah masak, ia makan dengan lahap dengan bibir berdecap-decap. Ia merasakan perutnya terisi lagi. Nikmat benar ketika perut sudah berisi.
Kijang melihat pemuda itu makan dengan menitikkan air mata.
Pemuda melihatnya, "kenapa kau menangis, bukankah kau sendiri yang bilang kalau ia adalah anak yang durhaka?" "Kedurhakaan pantas dibalas dengan kematian."
"Benar, ia memang pantas mati. Tapi selaku orang tua tentu aku masih sayang padanya."
Pemuda itu berjalan mendekati kijang itu, "sudahlah tak ada yang perlu disesali lagi. Semua sudah terjadi." "Oh ya, siapa namamu kijang baik hati?"
"Namaku Rixxo, aku tinggal dibalik lembah di ujung bukit itu." "Kau bisa datang berkunjung. Aku sangat kesepian sekarang."
"Aku senang sekali kalau bisa berkunjung ke rumahmu. Namun sayang aku harus melanjutkan perjalanan. Aku harus ke Londones secepatnya. Ada beberapa hal yang harus segera aku selesaikan disana. Kau bisa panggil aku Jack."
Pemuda yang dipanggil Jack itu kemudian meneruskan perjalanan sambil melambaikan tangan ke Rixxo, kijang yang telah membantunya. Jack memutuskan untuk menyusuri jalan yang dilewati oleh pedati semalam. Ia yakin pasti nanti akan menemui sebuah desa dan kemudian menumpang sebuah pedati lain.larilah sebelum kebalap!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ULANGAN PAI KD I DEMOKRASI DALAM ISLAM SEMESTER GANJIL KELAS XII

SOAL HARI KIAMAT XI IPA