bahkan cintapun terbakar

Lastri tampak bingung, berulang kali ia diberitahu teman bahwa ia dapat salam dari orang. Tak ada masalah sebenarnya kalau orang itu biasa. Seperti teman-temannya yang lain, dia tak begitu memperdulikan dan memperhatikan. Karena biasa, hanya salam seorang teman. Namun kali ini mau tak mau ia membuka telinga lebar-lebar dan bertanya, “siapa dia?”. Hatinya begitu sangat terusik begitu sang teman yang sering mengabarkan salam menjawab, “dia anak KKS”. Mulutnya terkatup. Tak bersuara. Hatinya pun bergetar. “Tak mungkin!” Desisnya. “Aku tak pernah berhubungan dengan mereka” “Dalam organisasi, perkumpulan, atau….” Matanya menatap takjub, ketika ia ingat akan kejadian itu. Kejadian yang dulu. Saat masih pertama datang di Mesir. Pertama kali ia menjejakkan kaki di mesir. Saat masih asing dengan sekitar. Saat ia........
“Maaf bisa Ana bantu”, seorang cowok bertubuh tegap berdiri didepannya. Lastri ingat benar, cowok itu menawarkan bantuan untuk mendorongkan troli, yang penuh berisi barang-barangnya. Saat ia baru saja keluar dari bandara Kairo yang baru. “Terima kasih” katanya saat itu, pendek. Cowok itu pun dengan sigap mendorongkan troli Lastri sampai luar bandara. “Apa perlu Ana panggilkan taksi” kata cowok itu kembali menawarkan bantuan. Lastri sangat takjub, ternyata Mesir sangat ramah. Terbukti orang yang pertama kali ia lihat, sudah mau membantunya apa saja. Lastri juga melihat bahwa cowok itu tak mencari perhatian darinya. Ia melihat sinar keikhlasan diwajah cowok itu. Hehe…godhul bashor dikit…Bukan sekedar membantu karena dia cewek yang lumayan cakep parasnya, biar nanti bisa…
“Tidak, terima kasih. Mungkin sebentar lagi penjemput saya datang”. Sebenarnya lastri ingin biar cowok itu yang membantunya. Mencarikan taksi. Mengantarnya sampai ke rumahnya. Namun ia masih menjaga izzahnya sebagai muslimah. Walau sudah ada rasa ketertarikan dalam hatinya. Dan keinginan untuk mengenal lebih jauh ada. Lagipula kakak kelas almameternya sudah berjanji akan menjemputnya. “Mungkin sebentar lagi”, pikirnya.
“Oh ya, kenalkan nama saya Husen”. Cowok itu mengenalkan diri. Tanpa menyodorkan tangan, tidak seperti perkenalan di Indonesia. “Ana dari Pare-Pare”
“Pare-Pare..mana itu?” Tanya lastri heran. Ia seperti baru dengar nama itu.
“Pare-Pare itu di Sulawesi” kata cowok itu sambil tersenyum. Manis sekali menurut lastri.
“Oh saya pikir pare yang buat sayur itu…hihi” Lastri tertawa, Lastri memang suka bercanda.
“Haha, ternyata ukhti bisa bercanda juga ya..Tapi maaf ukhti, jangan lebar-lebar, ntar lalat masuk..” Cowok hitam manis itu tersenyum lagi.
“Hahaha..” mereka berdua tertawa, sepertinya mereka merasa cocok
“Oh ya, Saya belum memperkenalkan diri, nama saya Lastri. Dari Jogyakarta.”
“Oh Jogyakarta…Ana pernah disana”. Ketika dialog mulai berjalan lagi, kakak kelas Lastri datang. Dan mengamitnya pergi..”Maaf Mas, taksi kami sudah menunggu”. Cowok itu cuma tersenyum dan mengucap salam. Manis menurut Lastri. “Lastri kenapa kamu bicara dengan dia..dia itu musuh kita!” Lastri tertegun..musuh kita?
Setelah hari itu lastri baru tahu, kalau anak yang dimaksud musuh kita adalah anak-anak Sulawesi, termasuk sang penolongnya, Husen. “Semua anak Sulawesikah?” tanyanya kepada seniornya, “ya, semua dari mereka adalah enemy kita”. “Why?” tanya Lastri heran saat itu. “ya, karena mereka pantas untuk dimusuhi. Bukan hanya kita, semua kekeluargaan yang laen juga besikap demikian” “Why?” tanya Lastri lagi, geram. Ia sangat tak rela kalau Husen jadi musuhnya. Husen sangat manis untuk dijadikan musuh. “Sudahlah kau turuti saja, kalau diceritakan bakal panjang. Dan kau akan jadi sangat benci dengan mereka”. Kata seniornya itu. Tak puas dengan jawaban senior itu, Lastri mencari senior lain. Dia adalah pengurus kekeluargaannya. Lastri berpikir, senior yang pertama berpendapat dari sentimen pribadinya sendiri. Dan tidak semuanya berpendapat demikian. Tapi ia kembali harus menelan ludah, ketika senior itu dan juga senior-senior lain yang ia tanyai berkata sama. ”Mereka musuh kita!”
Langit Kairo yang mendung akan hujan, tak separah mendungnya hati lastri yang galau. “Aku harus gimana, Lia..” akhirnya Lastri curhat dengan temannya Dahlia. Teman satu kamarnya di Gami’ nan permai. Dahlia berasal dari Bandung. Lastri pikir dahlia bisa bersikap netral. Dahlia juga masih tingkat II sama sepertinya. “Aku bingung sekali nih....”
Dahlia bersikap tenang. Ia juga tahu sekali masalah Lastri. Dan ia sangat ingin membantunya.
“Ini emang masalah yang begitu pelik,Tri. Kalau aku yang mengalami, tentu aku bingung juga”
“Kalau sebagai manusia aku akan pertahankan dia, kalau udah cinta..Siapapun dia..”
“Hei, siapa yang cinta!?” sela Lastri. “Ketemu juga baru sekali”
“Gak ini misalnya aja..” “Tuh kan, gitu aja udah merasa..” Lastri terdiam, mukanya memerah..
”Awas ya Lia..” Lastri mengancam dengan bantal hello kitty-nya. “Hei..tunggu dulu katanya mau minta nasehat” “Eh ya, silahkan Ustadzah..” kata Lastri sambil tertawa.
“Ana nasehatkan dengan pendekatan agama ya…karena sebenarnya dari agama ada semua obatnya.” Dahlia tahu banyak tentang agama, karena selain rajin dia juga suka membaca.
“Gini Tri, Anti ibaratkan deh kenapa ada cinta dan benci..” tanya Dahlia.
“Gak tau akh, wonk lagi bingung kok malah ditanya yang macam-macam.” Lastri merengut.
“Inilah karena kita jauh dari alQuran”. “Padahal alQuran sudah ngajarin macam-macam. Kalo cinta sudah ada rambunya...Jaga pandangan, jaga hati….” Dahlia memang jago dalam hal ini.
“Terus kalo masalah benci..kita kan saudara seiman. Dalam Islam gak ada yang bisa memisahkan kita, yang sudah terikat oleh iman kepada Allah yang Maha Penyayang..” Dahlia menjelaskan. Lastri tampak sungguh-sungguh memperhatikan dengan seksama.
“Duh kan, ustadzah mulai ceramahnya” Lastri menyanjung.
“Eh, bukan begitu Ukhti, ini adalah masalah kita bersama”. “Mungkin ini jadi masalahku juga”
“Lihat! musuhan hanya mengakibatkan kebencian yang beranak pinak. Yang tak tahu masalahku pun tekena.” “Bahkan yang tidak bergabung didalamnya pun ikut saling membela”.
“Tapi membela apa? Membela siapa? Membela kebenaran? Kebenaran yang mana? Kebenaran yang membuat kita tak boleh mengucap salam? Kebenaran yang membuat kita tak saling menziarahi? Membuat kita saling membuang muka saat bertemu dijalan? Membuat kita melupakan bahwa kita punya tugas bersama? Membuat cinta terbakar?!” Kata Dahlia berapi-api. Dahlia juga memang sudah bosan mendengar kisah-kisah dua musuh bebuyutan yang gak ada habis-habisnya dari tahun ketahun itu. Bahkan semakin parah dan meruncing sampai ketingkat induk organisasi yang menaungi seluruh mahasiswa Mesir.
“Apa sih mau mereka sebenarnya?!” “Kenapa tak ada jalan menuju perdamaian, pesatuan dan persahabatan. Mana sih rasa innamal mu’minuna ikhwatun kita?!”
“Haruskah kita terus menggunakan ego kita? Kemenangan kelompok, Kehebatan, kepopuleran yang tak berujung? Apa gunanya kita jauh-jauh dari Indonesia hanya untuk menjadi musuh bagi yang laen!?” Napas Dahlia naik turun, menahan emosi. Ia sudah mencurahkan seluruh isi hatinya. Dan juga mungkin isi hati yang lain yang tidak setuju akan adanya rival abadi ini. Hati yang bersih. Hati yang tak rela melihat saudaranya bertengkar. Hati yang menginginkan perdamaian dan persatuan penuh cinta kasih di bumi para Nabi ini.
Lastri berpikir, ya selama ini senior selalu menyatakan bahwa yang bersalah adalah orang Sulawesi. Dan sangat mungkin kalau di lain pihak, senior mereka mengatakan bahwa yang benar adalah kekeluargaan mereka. “Kenapa waktu tak bisa mendewasakan kita” Dahlia mendesah. Berdua mereka terdiam. Berpikir.
Dahlia terkaget, ketika Lastri tiba-tiba berteriak girang,
“Haha...Aku tahu Dahlia! Aku tahu jawabannya!”
“Apa?” Apa yang Kau tahu” tanya Dahlia.
“Tapi Aku akh...Aku malu mengatakannya..”
“Sudahlah katakan saja..” Dahlia penasaran.
“Aku akan minta Husen untuk melamarku..biar semua orang tahu bahwa cinta tak akan pernah terbakar!! Dan kita akan bersatu!!” Lastri bersorak-sorak.
“Haaaa......” Dahlia terpana...

larilah sebelum kebalap!

Komentar

Anonim mengatakan…
Very cool design! Useful information. Go on! »

Postingan populer dari blog ini

ULANGAN PAI KD I DEMOKRASI DALAM ISLAM SEMESTER GANJIL KELAS XII

SOAL HARI KIAMAT XI IPA