Sontoloyo

"Sudah kukatakan sebelumnya, gorok dulu lehernya sebelum kau buang! Dasar bodoh, kau biarkan kepalanya masih nempel di leher!" "Plak, plak!" "Dasar sontoloyo!" Heru menamparku berulang-ulang. Tapi tamparannya tak kurasakan apa-apa. Tubuhku sudah mati rasa. Gila! Dokter Mona belum mati juga, walau kepalanya kubenturkan berulangkali ke dinding kamarnya. Ia belum mati! Dan kini, aku takut ia ke kantor polisi melaporkan kesalahanku. "Dikepalanya itu ada susuk ‘urip’ yang kalo belum dilepas, dia tak akan mati selamanya! Dasar dukun betina!" Heru menendang kaleng bir rongsokan ke pindu. Suaranya yang berisik mengalihkan pandangan banyak orang yang berlalu lalang didepan rumah sempitku di gang yang juga sempit. "Sekarang kau sendiri yang harus tanggungjawab karena Mona sampai lapor ke polisi, aku gak mau tau! Aku mo ke Yogya cari objekan laen. Jadi pembunuh bayaran emang kadang bikin pusing!" Aku tak beranjak dari tempat dudukku, aku terlalu lemah untuk melawan kehendak Heru. Dia adalah bapak angkatku yang sudah mendidik dan membesarkan selama ini di Solo, kota yang selama ini aku tinggali. Kota yang tak banyak kutahu kecuali kekerasan dan pembunuhan yang dipertontonkan oleh Heru dan kawan-kawannya sejak aku kecil.
Aku anak yatim piatu, tak tahu kemana akan melangkah, tentu bersyukur ada orang yang mau merawatku, Heru. Yah, walau semuanya harus dibayar mahal karena yang kudapat dari dia cuma kekerasan. "Bapak angkatmu itu pembunuh, Jo!" kata Lek Parmin, tetanggaku dulu dipinggir jalur rel kereta api dekat stasiun Balapan. "Dia suka bunuh orang, kalo dia dibayar" Dulu aku hanya bisa diam, dan sedapat mungkin membela bapak angkatku itu. "Nggak, bapakku baek, dia bunuh orang-orang jahat." Teriakku sambil menangis. Kata Heru, orang tuaku dibunuh sama orang-orang jahat, yang bikin aku yatim piatu, tak punya seseorangpun di dunia ini. Heru orang baik karena dia mau membalaskan dendam orang tuaku. Dan setelah dia nanti tak ada, akulah yang meneruskan dendam orang tuaku. Ya aku yang nanti menjadi pembunuh, pembunuh orang-orang jahat itu.
"Kita miskin, gak ada baju bagus, gak ada makanan enak, gak ada mobil.. tau siapa yang bikin begini?!" Aku menggeleng polos "Orang-orang jahat itu-mereka yang suka lalu lalang pake sepur bagus- itu. Kamu ndak pernah tho naek sepur?" Tanya Heru dulu. "Pernah, kemaren aku ikut ke Jogya sama ‘konco’, tapi naek sepur yang itu". Aku menunjuk kereta api angkut batu bara. "Gratis" kataku sambil menyerot umbelku yang jatuh satu-satu. "Kamu apa dapet kursi empuk, ditawari minum jus, dapat selimut anget!?" "Nggak Pak Heru", tamparan panas mendarat ke pipiku yang hitam penuh jelantah. "Sontoloyo, sudah aku katakan jangan panggil aku pak, aku bukan bapakmu!" Muka Heru yang penuh goresan senjata tajam dan tato jadi tambah mengerikan. "Sudah sana nyopet orang, kita harus makan dari orang-orang jahat itu" Tak membantah, aku pun berlari, tubuh kecilku menyelinap cepat diantara orang-orang yang sedang menunggu kereta berhenti di stasiun itu. Sebentar saja di tanganku sudah ada dompet. Kuacung-acungkan ke arah Heru yang menyaksikanku dari kejauhan. Dia mengepalkan tangannya kearahku, "Sontoloyo!" teriaknya.
Semalam umurku dua puluh tahun, hampir sepuluh tahun lebih aku bersama Heru. Dia kini sudah tua, ubannya tampak, walau sering ditutupi pakai semir hitam. Semir sepatu. Dia tak lagi Heru si pembunuh seperti dulu. Dia sudah tak lagi cekatan. Tak bisa lagi berlari kencang. Maka dia mewariskan bakatnya padaku, sepenuhnya untukku. Aku bakal jadi seperti dia, pembunuh! Sebenarnya aku memilih jadi copet saja, resikonya lebih kecil, paling cuma benjut-benjut kalau tertangkap massa. Tapi aku tak terlalu khawatir karena pencopetan di daerah ini sudah teratur dengan baik. Setiap yang tertangkap akan dibantu olah kawannya yang lain, dengan balasan berapa persen dari hasil. Cuma kata Heru, membunuh orang bikin kita cepat dapet duit. Aku jadi heran, dulu Heru menyebut pembunuhan untuk membasmi orang-orang jahat, kenapa sekarang cuma untuk nyari uang. Tapi aku tak mau ambil pusing, yang penting sekarang aku bisa hidup enak. Kalo ke Jogya maen ke ‘pasar kembang’, nggak lagi pake kereta batu bara. Aku sudah bisa bayar pake uangku, uang copet!
Lusa kemarin, Heru dapat tugas bunuh orang lagi. Tapi dia sebenarnya mau bilang, dia udah gak mampu. Tapi Heru malu, lagipula uangnya lumayan ‘gede’ maka diambilnya tugas itu. Untukku. Ya, ini tugasku ketiga, kedua yang lewat berhasil kulakukan tanpa bekas tanpa jejak. Bersih. Seperti iklan-iklan sabun cuci yang tak pernah bisa aku buktikan kebenarannya. Karena aku tak pernah mencuci pakaianku yang cuma dua biji. Baju malam dan baju siang. Kini calon korban yang ketigaku adalah dokter Cina di dekat pasar Kleco. Dia punya musuh rentenir yang suka meminjamkan uang untuk para pedagang dengan bunga sangat tinggi. Rentenir ini tidak suka dokter Mona, karena dokter Mona meminjamkan uangnya tanpa bunga sedikitpun. Makanya banyak pedagang gak mau lagi pinjam rentenir itu. Maka dia dendam, ingin bunuh dokter Mona. Tapi dasar penjahat, dia mau bersih! Menyerahkan pembunuhan kepada penjahat yang lain; Heru, aku!
Heru mengatakan harus cepat melaksanakan tugas ini. Soalnya dokter Mona punya kawan polisi banyak di Solo. Bisa mampus kalau tercium mereka terlebih dahulu. Aku pun hanya bisa ‘ho-oh’ mengiyakan. Malam itu aku pergi sendirian lewat jalan Slamet Riyadi, naik bis damri yang sudah reok-penyot. Sepi, soalnya sudah jam sebelas malam. Orang-orang lebih banyak yang kemulan di rumahnya. Ini bisa mempermudah pekerjaanku. Benar, aku masuk ke rumah dokter Mona tanpa kesulitan. Kutemukan dia sendirian tertidur di ruang tamu dengan tv menyala. Tak ada orang lain di rumah. Aku memang sudah tahu waktu yang pas saat kelurganya bepergian ke Surabaya kecuali dia. Aku bekap dia dengan karung yang kusiapkan. Kebenturkan kepalanya ke tembok berulang kali. Sebenarnya Heru menyuruhku untuk menggoroknya. Tapi aku nggak mau, aku benci darah. Jijik melihatnya mengalir di sela-sela leher seseorang. Bermuncratan ke mana-mana. Tapi itu satu cara yang paling efektif untuk membunuh orang secara cepat. Kecuali kalau ada pistol peredam suara. Tinggal ‘dor’ di kepala sekali. Mampus!
Kubawa dokter Mona yang kukira sudah mati ke halaman belakangnya yang luas. Aku bingung mau membuangnya kemana. Kalau kubawa keluar, bisa ketahuan orang. Kuletakkan begitu saja dia disamping sumur. Kuambil lagi karungku, kubiarkan bekas jeratan di lehernya. Itu yang bikin orang mengira dokter Mona mati bunuh diri. Aku pun berlari, keluar rumah, ke jalan Slamet Riyadi lagi. Dan bis reot-peyot lain sudah menungguku di halte. Aku pun melaju, bersama satu-dua penumpang yang terangguk-angguk. Entah tidur, entah memikirkan nasib mereka yang kacau.
Heru menamparku berulang-ulang saat tahu ternyata dokter Mona belum mati. Dia baru semaput! "goblok, goblok!" Sumpah serapahnya keluar dari berbagai arah tubuhnya. Dari mulutnya, sela-sela giginya, kepalanya... aku meringkuk di kursi. Bagai diadili oleh hakim agung. "Sontoloyo kamu! Apa sih yang beres kamu kerjakan!" "Rugi aku ngopeni kamu belasan tahun, rugi!" Heru merobek-robek koran Solopos yang memberitakan tentang rencana pembunuhan terhadap seorang dokter yang gagal. Dokter Mona lolos dari maut, ia selamat! Heru kebingungan habis, polisi sudah tahu siapa pelakunya, juga teman-temannya. Aku dan heru serta rentenir lindah darat itu. Rentenir itu sendiri sudah kabur entah kemana. Di depan stasiun balapan aku masih berada. Bersama bapak angkatku tentunya.
"Aku mau pergi saja, sekarang! Kamu urus diri kamu sendiri. Inget kalau kamu ketangkep jangan sampai adukan aku. Kalau sampai adukan, aku bunuh kamu di penjara!" tangannya kembali mengepal pada wajahku. Seperti dulu. Tapi kini aku tak takut, dari dulu Heru selalu mengucap kata-kata yang sama saat mengancamku. Bunuh, mati, mampus, modar, itu sudah biasa bagiku. Di telingaku, di tubuhku, di sekuruh peredaran darahku sudah ada kata itu. Itu kamus umum bagi orang-orang di sepanjang rel ini. Tak ada bedanya mati besok, atau sekarang. Lagipula hidup bagi orang sini sama seperti tak hidup. Hidup yang tak menyenangkan. Miskin, gembel, gelandangan. Walau tak bisa lagi ke pasar kembang, kupikir apa lagi yang bisa kulakukan. Aku sudah muak terhadap semua yang kulakukan ini. Juga apa yang Heru lakukan padaku. Muak!
Tiba-tiba Lek Parmin masuk rumah. Tersenggal-senggal dia berkata, "ayo kalian pergi semua, polisi pada kemari!" Heru gelagapan, mulutnya mengeluarkan sumpah serapah lagi. "Ini gara-gara kamu! Kalau sampai aku tertangkap, aku bunuh kamu, sontoloyo!" "Bunuh saja aku sekarang kalau berani!" teriakku melawan. Saatnya berbicara kata hati. "Paling-paling kamu nggak berani!" "Kamu pengecut!" Teriakku "Berani kamu sama bapakmu!" Tiba-tiba Heru berkata seolah dia bapakku. Aku terhenyak, setelah semua ini... "Dasar bocah sontoloyo, mati!!"

Arti:
Sepur=kereta api biji=buah ngopeni=ngurusi
Menyerot=menyedot kemulan=menggunakan selimut konco=teman
Umbel=ingus semaput=pingsan
Jelantah=minyak makan gelagapan=bingung
Benjut-benjut=benjol-benjol pasar kembang=tempat pelacuran di Jogyalarilah sebelum kebalap!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ULANGAN PAI KD I DEMOKRASI DALAM ISLAM SEMESTER GANJIL KELAS XII

SOAL HARI KIAMAT XI IPA