Rasib Gak Rosib Asal Kumpul

"Nang, kamu kok bisa rosib gitu?" "Kan sudah bapak katakan berkali-kali, belajar yang rajin!" "Dasar kamu memang pemalas!" Kata bapak kepadaku. Marah besar. Malam ini aku harus menelpon bapak untuk mempertanggung jawabkan kerja dan belajarku selama setahun di mesir ini. Dan pasti, aku tahu benar, aku dimarahi, karena aku rosib. Tapi kusangka cuma sebentar, bukan habis-habisan seperti ini.
"Dasar kamu anak durhaka! Sudah dibiayai susah-susah, kau malah tak bersyukur!" kata Ibu menambahi "kau pasti malas belajar!" Otakku berdenyut kencang. "Ngapain aja kamu setahun ini!" Bisanya cuma bikin malu orang tua, keluarga, tetangga...!" Ibuku terus bicara...
Aaaaa….tidak!!
Terengah-engah aku terbangun, rupanya cuma mimpi. Gila! Mimpi yang seperti kenyataan. Napasku sampai kembang-kempis menyaksikan paras ibu dan bapakku, memerah dan sangat marah. Memarahiku besar-besaran tanpa ada jeda pada kalimat-kalimatnya. Seperti itukah kedua orang tuaku kalau aku rosib tahun ini? Gila! Keringatku menetes satu-satu.
Kubasuh kepalaku dengan air dingin. Bukan malam ini aku harus menelpon orang tuaku. Mimpi itu seperti ingin mempercepat hidupku satu hari. Hari ini aku baru mau melihat hasil yang ditempel di dinding kampus. Apapun hasilnya itulah yang akan aku kabarkan pada kedua orang tuaku. Esok malam, yeah esok malam! Aku bisa mampus atau tertawa terbahak-bahak didepan kedua orang tuaku. Besok malamlah aku bisa menagih hutang orang tuaku untuk membelikanku laptop seandainya saja aku najah. Besok malam aku bisa buktikan pada orangtuaku bahwa aku tidak membanyol saat aku memutuskan tuk pergi ke Mesir. Yeah, orang tuaku harus tahu itu. Harus tahu bahwa aku mampu pergi jauh dan berprestasi. Tapi kini pikiranku tak menentu. Bayanganku akan rosib, merusak semua bayanganku akan semua tuntutan-tuntutanku pada orang-tuaku. Jangankan untuk menuntut, kalau aku sampai rosib benar, aku tak yakin kepalaku masih bisa menempel ditenggorokanku. Bapak marah.. wuh seperti Armageddon!
Rahmat menelpon, dia menungguku di lantai bawah. Kami akan pergi bareng ke kampus. Rahmat satu tingkat dan satu fakultas denganku. Sebenarnya dia datang tahun kemaren, tapi dia rosib, tak naek. Kini ia menguji nasibnya lagi. Kalau rosib lagi, kata bapaknya, dia disuruh pulang saja ke Indonesia, biar tidak hanya bisa menghabisi uang tanpa hasil yang jelas. Rahmat sebenarnya tidak bodoh, tapi memang dia juga tidak pintar. Pertengahanlah, tapi untuk sekedar mengerti soal dan menjawabnya dia bisa. Namun tak tahu kenapa ia gagal tahun lalu. "Nang, belajar di Azhar itu bukan cuma menghadapi doktor dan muqoror. Tapi kau juga harus siap menghadapi malaikat!" Katanya dulu saat kutanya, kenapa bisa menjawab tapi tak bisa lulus. "Kalau kau berani macam-macam disini, berarti kau nantang malaikat" " Kalau kau berani nantang malaikat berarti kau calon rosib!" Kata-kataku selalu kuingat. Makanya aku tak berani macam-macam disini. Beraninya aku satu macam saja.
Aku pernah bertanya juga pada senior yang laen. Gimana rasa rosib itu. "Rasanya seperti aku gagal nawarin tahu sama pelanggan. Atau pelangganku pindah ke pedagang laen." Itu kata mas Yan, pedagang tahu keliling saat kutanya. Sementara kata mas Joni, broker pesawat, "rosib itu rasanya seperti gue kalo gak dapet order tiket" Huh berbeda, tapi intinya aku pikir sama. Rasanya pasti sakit banget. "Pernah digigit kuda nil? Nah itu rasanya kalau ente rosib!" kata Mona, orang Batak yang udah ngedon ditingkat dua selama dua tahun. Dia sekarang stres, sukanya gangguin orang kalau pas lagi ujian tiba. Di masjid Azhar dia sering teriak-teriak sendirian. "Gak adil-gak adil!" Nggak tahu dia bicara sama siapa.
Rahmat mengamit tanganku kuat, "nanti kau yang lihat ya?" Katanya memelas.
"Loh kenapa? Kita kan pergi bareng." Kataku merasa aneh. Aku juga takut, tapi aku gak mau jadi penakut. Biar aku akan lihat hasil itu dengan jantan. Karena itulah hasil kerjaku, hasil peluhku yang mati-matian berusaha. Menghapal, membuat catatan, meninggalkan maen-maen. Itu ujianku dan aku yang harus melihat hasilnya sendiri, dengan mata telanjangku. Aku tak mau seperti teman-teman yang lain menitip nomor untuk dilihatkan. Kenapa? Bukankah hasilnya akan sama. Kalau rosib ya rosib, kalau najah ya selamat.
Bis 80 coret yang kunaiki penuh sesak, dipenuhi anak-anak yang tujuannya sama denganku, kampus Azhar. Ada yang asyik ngobrol, bicarain rencana mereka kalau najah. Mau kesinilah mau kesanalah, mau inilah mau itulah. Huh dasar! Itu pasti semuanya pake biaya, dan orang tua yang nanggung. Kita emang suka mau enaknya aja. Gak tahu seberapa besar kerja keras orang tua! Aku juga begitu sih, tapi masih mending akulah, aku mintanya gak langsung. Tapi pake telpon. Emang yang laennya gimana? Ada juga yang senyum-senyum kecut. Agaknya dia berpikir dia rosib. Tuh, kan dia ngomong sendiri, "aku pasti rosib, aku pasti rosib!" Ada juga yang lagi nasehatin temennya, "temanku, walau dikau rosib dan daku najah, daku tak akan lupakan dikau sayang" Wah-wah yang ini bahaya!
Kupegang erat-erat bangku depanku supaya tak terpelanting ke belakang. Seperti biasa aku tak dapat duduk. Berdiri bergelantungan seperti monyet yang dikatakan teman-teman, "inilah perjuangan Azhar!" Perjuangan berdiri hampir sejam-an, berdesakan, bercampur bau badan dan bawang. Dengan perasaan was-was Hp dan dompet tak hilang. Simalakama memang, mau naik yang lain tak ada ongkos. Naik yang ini, bisa kecopetan dan itu berarti tak akan ada ongkos untuk yang lain selama sebulan. Biarlah, anggaplah benar kata teman-teman ini adalah perjuangan.
Aku dan Rahmat turun bersama yang lainnya di depan rumah sakit Husein. Menara masjid azhar kelihatan dari sini. Tinggi membelah langit, memancarkan suatu harapan mahasiswa al Azhar mampu menggapai langit. Menggapai cita-cita mereka, setinggi apa-pun cita-cita itu. Rahmat terlihat sangat was-was. Ia selalu melihat kebelakang. "Aku takut ayahku berada di belakangku, dan ikut juga melihat aku kembali rosib". Gila! Kenapa Rahmat sampai berpikiran seperti itu. Ayahnya kan di Indonesia, tak mungkin ia ada di sini, di belakang Rahmat dan aku. Kalau ibunya sih mungkin. Lho?
Langkah-langkah terasa berat dan teramat lama. Taksi-taksi hitam yang berseliweran semakin membuatku tak bisa menyebrang. Seorang mahasiswa keluar dari gerbang Azhar, ia mengepalkan kedua tangannya ke atas sambil berteriak-teriak, "aku najah, aku lulus, aku sukses!!" Sementara yang lainnya terlihat merobek-robek bajunya, "ibuku pasti akan membunuhku!" Teriaknya. Rahmat tampak semakin cemas melihatnya. Aku juga, tiba-tiba keringat dinginku menetes. Aku tak setegar yang tadi, semangatku mengendor. Aku ingat mimpiku semalam, aku takut hal itu jadi kenyataan. Aku takut aku rosib, ya Robb... kuatkan!
Gerbang sudah kulewati, satu dua orang kulewati. Ada yang berwajah pucat pasi. Ada yang tersenyum basa-basi. Ada yang tertawa, ada yang tertunduk penuh duka. Ada yang meloncat gembira, ada yang meraung berguling ditanah penuh air mata. Dimana aku? Aku di kerumunan orang yang melihat dirinya dengan nilai yeng tertera dalam kertas buram. Aku..
"Nang, aku lulus!" bisik Rahmat di telingaku.. aku tak mendengarnya.. samar. Namaku tampak di kertas buram nan jelek itu. Lengkap dengan nilainya. Tapi Mumtaz, jayid jidan, jayid, maqbul atau rosib..... aku tak tahu. Persendianku lemas. Kakiku tak mampu lagi menopang tubuhku. Aku akan ambruk...
"Ma, Pa aku rosib tahun ini" kataku di telepon malam ini. "Nang, kamu kok bisa rosib gitu?" "Kan sudah bapak katakan berkali-kali, belajar yang rajin!" "Dasar kamu memang pemalas!" Kata bapak kepadaku. Marah besar. Malam itu aku harus menelpon bapak untuk mempertanggung jawabkan kerja dan belajarku selama setahun di mesir ini. Dan pasti, aku tahu benar, aku dimarahi, karena aku rosib. Tapi kusangka cuma sebentar, bukan habis-habisan seperti ini.
"Dasar kamu anak durhaka! Sudah dibiayai susah-susah, kau malah tak bersyukur!" Kata Ibu menambahi. "Kau pasti malas belajar!" Otakku berdenyut kencang. "Ngapain aja kamu setahun ini!" Bisanya cuma bikin malu orang tua, keluarga, tetangga...!" Ibuku terus bicara...

Komentar

Anonim mengatakan…
What a great site » »

Postingan populer dari blog ini

ULANGAN PAI KD I DEMOKRASI DALAM ISLAM SEMESTER GANJIL KELAS XII

SOAL HARI KIAMAT XI IPA