Maryamah Kapau Part III

Sebenernya Maryamah Kapau lebih ingat dengan seorang pelanggannya yang dulu sering mengunjungi warungnya. Ia terlihat sebagai seorang pria yang sopan dan baik. Namun pria itu hanya diam ketika melihat Maryamah Kapau. Sedikitpun ia tidak disapanya atau sekedar diperlihatkan sebuah senyuman yang ia tunggu-tunggu. Ia hanya menatap sebentar padanya dan kemudian memberikan piring yang sudah berisi nasi kembali kepada Maryamah Kapau. Dulu pertama kali Maryamah Kapau heran melihatnya karena berbeda dengan pelanggan lainnya.

“Kenapa kau balikan piring ini padaku? Bukankah di warung ini kau bisa memilih sendiri apa yang kau mau. Juga seberapa banyak yang kau inginkan?” tanya Maryamah Kapau waktu itu. Dan pria itu hanya mengerjapkan mata seraya berkata,
“Aku sulit tuk memilih. Selalu. Mungkin kau yang bisa pilihkan menu hari ini untukku. Aku akan sangat senang.” Dan Maryamah kapau langsung melayang.
“Bukankah selera kita mungkin berbeda? Nantinya aku salah mengambilkan apa yang kau mau?”

Canggung Maryamah Kapau bicara. Ingin sekali ia membayangkan pria itu tersenyum padanya atau sekedar menggodanya. Ia ingin sekali.

“Kau tentu lebih tahu menu mana yang nikmat dimakan hari ini. Dan aku pasti akan gembira menerima yang kau berikan.”

Maryamah Kapau tak lagi sanggup bicara. Saat itulah ia mulai mengagumi pria sopan itu. Kemudian melihat tindak-tanduknya saat ia makan, membayar dan pergi meninggalkan warung itu. Dan kadang, membayangkannya menikah dengannya. Yah, mungkin masih terlalu cepat.

Tidak setiap hari pria (yang kini) dambaannya itu datang. Jelas tak mungkin mengharapkan seseorang akan makan masakan padang setiap hari. Bisa sakit perut. Apalagi mungkin ia bukan orang padang. Hei kenapa Maryamah Kapau tak menanyainya saja? Jelas malu, Maryamah kan wanita. Hei haruskah wanita malu bertanya pujaan hatinya?

“Kong, sebenarnya aye ga mau yang aneh-aneh. Atau bikin kriteria lelaki pujaan macam ape.... yang aye mau...” Maryamah Kapau menjawab pertanyaan Engkong Pi’in.
“Apaan sebut aja Mah, semua orang kan punya pilihan dan harapan. Apalagi soal pasangan hidup. Sekali seumur hidup loh?” desak Engkong Pi’in.
“Aye sih ga mau norak-norak, asal dia ganteng, kayapun tak mengapa apalagi sholeh. Hehe..”
“Yaelah elu dikasih ati minta rempelo.tapi wajarlah. Elu kan juga cantik, sholehah dan kaya budi baek. Hehe.”

Maryamah Kapau tertawa. Namun hatinya pilu. Dulu saat dia sudah begitu berharap akan mendapatkan pria yang diidamkan, harapan itu musnah begitu aja. Ingat benar ia saat mulai menghapal gerakan menerima piring nasi darinya, kemudian mengembalikan lagi. Melihat bagaimana Maryamah memilihkan menu dan kemudian duduk tepat di pinggir jendela. Memakan dengan bismilah (halah) dan beberapa saat kemudian memandang ke jalan, seakan ada yang sedang dipikirkan. Smoga Imah yang dipikirinnya.

Lalu saat pembicaraan mulai lancar, walau belum mendapatkan senyuman yang diimpikannya Maryamah mendadak stres. Betapa tidak, sebulan lebih saat pria itu bolak-balik makan di warungnya, tahu dimana pria itu bekerja, duit pecahan 20 ribu buat membayar makanannya, pria itu datang membawa duka di hari selasa.

Hari itu pria itu tak masuk ke dalam warung sendirian. Ia bersama seorang wanita cantik berjilbab ungu. Wanita itu tak lebih cantik darinya, tapi pancaran keibuannya besar. Siapa ia? Temannya kan? Kekasihnya kah? Atau istrinya!? Hati Maryamah remuk redam. Dan berusaha keras ia rendam. Dan rasa cemburu yang berkobar ia pendam.

Hei tapi tidak mungkin wanita itu sekedar teman, pria sopan itu menggenggam jemarinya erat. Merekapun berbicara rapat. Dan Engkong Pi’in pake gigi kawat.

“Hi. Maryamah... kenalkan ini istriku, Bunga Citra Mentari. Kami baru menikah 2 minggu ini. Dan kau tahu, ia sudah hamil. Betapa bahagianya kami.” Pria itu tiba-tiba bebrbicara dan merobek-robek hati Maryamah. Ia sudah menikah dengan wanita itu. Dan wanita itu sudah mengandung anaknya. Oh, Maryamah tak mau membayangkannya bagaimana mereka melakukannya (haha ga usah dipikirin lah, Mah).

“Ya, aku pun tahu kau bahagia. Kau tersenyum lebar.” Ya, pria sopan itu memang tersenyum lebar. Indah sekali, tapi itu bukan untuknya. Untuk orang disisinya. Dan ia tak jadi indah lagi. Kenapa jadi benci. Oh my god!

Harusnya Maryamah yang disampingnya, memeluknya erat seraya berbisik, “Yang, aku sudah hamil, lho. Let gas, who made it!”
Harusnya Maryamah yang disampingnya, dan pria itu berkata padany,
“Oh, just me, i’m made it, honey!”

Harusnya Maryamah yang disampingnya dan bahagia, dengan senyuman indah itu. Bukan dia.

“Sayang, kau mau makan apa? Biar aku yang pilihkan. Maryamah tolong nasinya...” Pria itu (yang hingga kini belom ia ketahui namanya) berkata pada istrinya dengan Sayang, dan menyebut namaku dengan lengkap untuk mengambilkan nasi! Lagian bukankah ia yang setiap kali mengambilkan menunya untuk pria itu. Kenapa kini pria itu yang harus mengambilkan menu untuk istrinya?

“Mah, elu kagak kenapa-kenapa kan? Kenapa elu ngiler gitu...” Engkong Pi’in menggoyang-goyangkan bahu Maryamah Kapau. Dan...selanjutnya besok lagi ya...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ULANGAN PAI KD I DEMOKRASI DALAM ISLAM SEMESTER GANJIL KELAS XII

SOAL HARI KIAMAT XI IPA