Gatot Kaca in The Way


Gate 3 hampir saja ditutup, kalau saja orang berpeci hitam itu tak berlari, ia pasti akan ketinggalan pesawat. Satpam berbodi kekar menahannya untuk memeriksanya dengan alat deteksi. Tak ada yang mencurigakan. Sensor mata dan sidik jari memastikan orang itu tak berbahaya dan boleh menaiki pesawat. Sejak Monas dihantam pesawat Gundala Airlines 2 tahun lalu, penjagaan bandara memang lebih diperketat.

“Selamat jalan, Pak. Semoga perjalanan anda menyenangkan. Anda tidak melupakan parasutnya kan?” kata satpam kekar itu sambil memberikan HP dan dompet.

“Terima kasih. Tentu saya tidak melupakan benda penting itu. Baru saja saya membelinya di bandara ini. Katanya bukan made in China. Doakan saya sajalah...”

Orang berpeci itu menyalami satpam kekar, kemudian memasuki pesawat Rajawali Airlines dengan kaki kanan terlebih dahulu lalu berdoa. Pramugari menyambutnya dengan tersenyum terpaksa.

“Silahkan, tiketnya... 4B. Lurus ke depan saja, Pak. No 2 dari belakang. Dekat toilet.”

“Apa saya perlu membawa air mineral sendiri, Mbak?” tanya orang berpeci dengan sedikit khawatir. Maklum duitnya pas-pasan, takutnya tidak cukup untuk melanjutkan perjalanan.

“Tenang saja, Pak. Nanti dibagikan oleh kami. Harganya cuma Rp. 5.000 kok, murah.”

“Apa ndak ada yang lebih murah? Yang pake gelas juga enggak apa-apa.”

“Sudah bapak duduk saja dulu. Nanti sudah ada yang mengurusi.”

Pramugari tak mau lagi menjelaskan. Dalam hatinya ia berkata, “orang miskin kok naek pesawat terbang. Mbok jalan kaki saja sana!”

Orang berpeci hitam itu berjalan masuk ke dalam pesawat. Nampak jelas pesawat itu sudah lama terpakai. Kursinya saja banyak yang warna, corak dan bentuknya tidak sama. Namun karena tidak ada lagi kendaraan yang sampai ke desanya, terpaksa ia menaikinya. Di tahun 2030 ini, bus-bus sudah tidak lagi beroperasi. Presiden Indonesia memberi kebijakan penting tentang perhubungan masyarakat, harus lewat udara. Kalau tidak mau ya jalan kaki. Tidak tahu mengapa. Katanya sih biar perhubungan antar daerah bisa lebih cepat sampai. Itu namanya kebijakan yang tidak bijak.

“Permisi Mas, benar ini nomor 4B? Saya duduk di sini.”

Seorang pemuda mendongakkan kepala, membuka mata, menggeser tubuhnya dan berkata, “Silakan, Pak. Aku di 7A. Sebelah Bapak.”

“Bukannya 7A itu di depan?”

“Kan sudah di pesawat, Pak. Kita bisa memilih kursi yang mana saja. Yang penting cepat-cepatan masuk. Aku dan bapak datangnya terlambat. Jadinya ya dekat toilet.”

“Ya sudahlah. Yang penting dapat duduk. Biasanya saya harus menggantung di tengah. Oh ya, perkenalkan nama saya Soekarno. Dulu pernah jadi presiden Indonesia.” Orang berpeci hitam itu meletakkan tasnya di bawah kursi dan menyalami temen duduknya. Di bagasi atas sudah penuh dengan barang-barang milik penumpang lain. Pesawatpun lepas landas.

“Soekarno? Sepertinya aku pernah kenal. Hm... aku Gajah Mada. Pernah jadi Mahapatih Nusantara.” Pemuda itu mengenalkan dirinya kepada Soekarno. Kini bisa dilihat kalau keduanya adalah orang-orang yang berjaya dan berjasa pada masanya. Soekarno berjasa di awal-awal kemerdekaan sedangkan Gajah Mada berjaya pada jaman keemasan kerajaan Majapahit yang menguasai seluruh Nusantara bahkan sampai negara tetangga. Pesawat sudah di ketinggian maksimal.

“Miris juga ya, Pak Karno. Aku tidak pernah membayangkan kalau pengorbananku merebut dan menyatukan seluruh Nusantara dahulu terasa sia-sia belaka.” Gajah Mada membuka pembicaraan lebih ke arah serius.

“Maksud anda?” tanya Soekarno sambil melepas sabuk pengaman yang lebih mirip sabuk sebuah perguruan seni beladiri.

“Bahkan kini aku menyesal sudah bersumpah Palapa. Lihat saja, kehidupan Indonesia ini tidak juga maju-maju. Bahkan negara-negara yang dulu aku rebut lebih berhasil saat memisahkan diri dari Nusantara.”

“Benar juga. Saya sendiri suka merasa merugi sudah mengucapkan proklamasi kemerdekaan. Kalau saja kita masih dijajah mungkin tak seperti ini jadinya. Tapi anda seharusnya harus masih merasa bangga, sumpah anda dijadikan nama satelit negara kita. Sedang saya kadang harus malu dicap sebagai antek PKI di buku sejarah nasional. Orang sudah melupakan saya, sedang pada anda tidak. Anda masih jadi pujaan masyarakat.”

Kedua pejuang bangsa itu terdiam. Menekuri pikirannya masing-masing yang seakan ingin kembali ke masa lalu. Akan sejarah Indonesia yang begitu panjang dan berliku. Akan kepedihan dan penderitaan akibat peperangan dan penjajahan. Akan asa setiap pejuang yang sudah gugur. Akan harapan untuk masa depan. Akan...

“Gawat-gawat!” seisi penumpang tiba-tiba gaduh. Seseorang penumpang berteriak tak karuan.

“Kapal ini akan jatuh, terbakar, hancur!”

“Saya sudah meramalkannya!”

“Kita akan mati! Terbakar!”

Soekarno dan Gajah Mada merasa terusik dengan teriakan-teriakan itu. Apalagi penumpang yang lain. Semua sudah memasang parasut di punggungnya masing-masing.

“Jangan mengada-ada ya! Pesawat ini sudah ber-ISO 2000.” Teriak penumpang lain.

“Tapi itu kan 30 tahun yang lalu!”

Sampean boleh tak percaya. Tapi ramalan saya ini jarang yang meleset.”

“Memangnya siapa saudara ini? Bicara sembarangan!”

“Saya ini Empu Jayabaya! Ramalan saya bisa sampean liat di google kalau tidak percaya!”

Akhirnya para penumpang percaya dan jadi panik. Siapa yang tidak percaya akan informasi google? Bahkan para pramugari yang berusaha menenangkan tak juga digubris lagi. Apalagi setelah getaran-getaran kencang mulai benar bisa dirasakan. Pilot menyatakan lewat mikrofon kalau sayap kanan tiba-tiba patah dan pesawat akan meluncur menghantam bumi dalam 10 menit!

“Saudara Gajah Mada, kita harus bertindak!” Soekarno mengambil inisiatif.

“Pak Karno tidak belajar dari pengalaman ya? Kita sudah pernah berjuang demi kebaikan bangsa. Tapi kita tidak mendapatkan apa-apa. Apa lagi hanya demi sebuah pesawat butut!” Gajah Mada menyela, ia tidak setuju tindakan bantu-membantu itu. Cukup rasanya pengalaman dahulu dijadikan sebagai guru terbaik.

“Saya memang pernah sakit hati dilupakan. Tapi saya tidak akan pernah membiarkan rakyat saya mati konyol dan menderita. Kalaupun tidak demi para penumpang ini, mari kita lakukan untuk menyelamatkan kehidupan kita sendiri!” kobar semangat 45 Soekarno muncul menyala-nyala. Gajah Mada pun tergerak hatinya. Dalam hati kecilnya, memang selalu ingin membaktikan dirinya demi negara tercinta. Walau harus mengorbankan jiwa raga.

“Baik, aku bersedia membantu. Tapi ini hanya demi Nusantara pusaka dan nyawa kita!” Gajah Mada mengepalkan tangannya ke udara. Bergairah.

Soekarno lalu berpikir kencang bagaimana menyelamatkan jiwa puluhan penumpang ini. Tapi ia tidak ada ide. Dia perlu diculik dulu ke Rengas Dengklok untuk mendapatkan ide. Dalam kejadian ini tidak akan mungkin terjadi! Sementara pesawat mulai bergerak oleng kesana-kemari. Penumpang pada berteriak ketakutan, bahkan ada yang sudah terpental dari depan hingga ke belakang.

“Bagaimana kalo aku minta bantuan Mas Gatot Kaca. Kebetulan dia lagi ada cuti kantor. Biar saya miscall.” Di saat yang genting itu Gajah Mada memberikan saran terbaik.

“Tepat. Itu juga yang tadinya hampir saya pikirkan. Coba minta tolong dia, langsung saja ditelpon. Biar cepat! Sebentar lagi kita jatuh!”

Ringtone Doraemon di seberang sana berdering kencang.

“Hallo, di sini menteri bantuan dalam negeri, ada yang bisa dibantu?”

“Mas Gatot Kaca, kita dalam pesawat dan pesawatnya mau jatuh!”

“Sudah jatuh atau baru mau jatuh?”

“Maksud looh! Please deh, cepetan kemari!” Gajah Mada berteriak sekuatnya.

Gatot Kaca langsung membuka kemeja batiknya. Berubahlah ia menjadi manusia super; tulang baja dan berkulit besi. Dengan gerakan kilat ia langsung mengecek di komputer, pesawat mana yang belum jatuh minggu itu. Didapatlah nama Rajawali Airlines. Terbanglah ia menuju sasaran.

Soekarno dan Gajah Mada saling memandang. Nampaknya mereka berdua sudah putus harapan Gatot Kaca bisa datang tepat waktu. Maklum kadang menteri suka jam karet.

“Akhirnya kita benar-benar meninggalkan bumi pertiwi ya, Mas?” Soekarno menepuk bahu Gajah Mada.

“Iya, namun yang terpenting adalah di akhir hayat kita telah memberikan yang terbaik pada Nusantara tercinta. Semoga Tuhan membalasnya untuk kita di surga.”

Sementara itu Empu Jayabaya marah pada dirinya sendiri.

“Saya telah meramalkan banyak hal dan banyak orang. Kenapa saya tidak bisa meramalkan kapan kematian saya sendiri?”

Pesawat tinggal hitungan detik menghantam bumi. Di saat yang kritis itu, gerakan pesawat tiba-tiba terhenti. Diam dan tak ada gerakan yang berarti.

“Apa yang terjadi? Sudahkah kita mati?” teriak seorang penumpang.

“Tidak kita belum mati.”

“Lihat, Gatot Kaca di sayap sebelah kiri! Dia yang telah menolong kita!”

“Hidup menteri bantuan dalam negeri!”

Saokarno dan Gajah Mada saling memandang dan tersenyum.

“Akhirnya ia datang juga, kita selamat.”

“Ya, kita selamat.”

nyang buat lomba cerpen kemaren. Kalah bo! hik-hik. Minta koreksi dari semua.

Komentar

Anonim mengatakan…
Masaya Allah. Ini betul betul Joke of the Day. Cerita khayal yang brillian, witty, luar biasa deh. Saya dibuatnya tertawa geli dari awal hingga akhir Anda ko genius amat siih. Salam dari London. Permisi ya untuk saya 4ward ke milis2 yang serius terus. wass, Teteh
www.alshahida.blogdrive.com
lassadad mengatakan…
:-D
Anonim mengatakan…
Lahh...perasaan lomba nyang kemaren itu temanya K-E-MANUSIA-A-N, tapi kok Gatotkaca di bawa-bawa....tapi kagak ape2 Kur, ane juga kalah kok..ups bukan kalah...tapi belon menang...Good luck deh ujiannya...moga ente sama istri najah deh!!!

Postingan populer dari blog ini

ULANGAN PAI KD I DEMOKRASI DALAM ISLAM SEMESTER GANJIL KELAS XII

SOAL HARI KIAMAT XI IPA