Broken Tea

“Kok kau gak jadi nikah sih?”
“Udah gak pengen!”
“Ah, yang bener?”
“Aku ditolak!”
“Haha…”
Aku meninju pintu. Kenapa dia musti ketawa, bukannya simpati atau gimana kek.
“Ditolak? Kok bisa? Kamu kan jago mempermainkan wanita?”
Busyet! Jago? Emang aku ayam?
“Yah, aku lagi sial aja.”
“Padahal kelihatannya kamu emang udah jatuh cinta ama dia. Ya kan?”
Aku tak menjawab. Mungkin juga benar aku sudah jatuh cinta dengannya. Perasaanku toh tak bisa kubohongi. Aku memang belum bertemu dengannya, cuma entah kenapa perasaan ini ternyata berbeda dari biasanya.
“Gak tau.”
“EH, kenapa kamu gak balik aja ama yang lama?”
Dia mengerjapkan matanya. Ide brilian, tapi aku gak suka.
“Harga diriku mau aku taruh mana?”
Dia tersenyum mengejek
“Kau masih bicara harga dirimu? Harga dirimu sudah jatuh tempo dulu ketika kau putuskan dia sepihak untuk menyenangkan orang tuamu.”
“Hei aku pikirkan hal itu baik-baik! Aku juga sudah minta izin padanya dan ia menerimanya.”
“Tapi dengan sakit hati kan?”
Aku terdiam. Aku juga sakit hati. amat sakit hati. siapa yang tak sedih kalau cinta yang lama terbina terputus begitu aja, walau dengan alasan demi kebaikan orang tua.
“Kau pikir aku juga tak sakit hati?”
“Tapi dia lebih, dia wanita!”
“Aku pria! Tak bisakah pria juga sakit hati ditinggalkan kekasihnya?”
“Kau meninggalkannya, bukan ditinggalkan!”
Sama saja. Tak beda. Pastinya dia tak lagi di sisiku.
“Mungkin saja ia masih mau memaafkanmu?”
Dia mengambil teh dan meminumnya perlahan. Lalu kembali menatap mataku erat.
“Aku yang tak bisa memaafkan diriku yang sudah melukainya.”
Aku mungkin pria pecundang yang tak tahu diuntung. Aku sudah dicintai seorang wanita begitu rupa, tapi teganya aku melepasnya. Kini aku menerima batunya. Aku ditolak wanita yang orang tuaku jodohkan.
“Oke, kembali ke masalah apa sih yang membuat jodohmu menolakmu?”
“Karena dia bukan jodohku.”
“Kok tahu dia bukan jodohmu?”
“Dia yang bilang!”
“Kau tak bisa sangkal?”
Aku meremas tanganku sendiri. Muqororku sudah tergeletak dari tadi di bawah kursi. Aku tak punya semangat yang cukup untuk membaca apalagi menghapalnya.
“Katanya dia belum bisa menerimaku untuk saat ini.”
“Nah, berarti sapa tau hanya untuk saat ini aja. Ntar, lusa, bulan depan bisa saja dia menerimamu.”
“Kau mengerti bahasa kinayah tidak sih?”
“Yang tidak jelas kan? Kenapa? Dia kan baru bilang tak menerima saat ini. Bukan saat akan datang.”
“Itu hanya konotasi bahwa ia menolakku!”
Dia menarik kursinya mendekatiku.
“Kau yakin hal itu? Bagaimana kalo kau salah mengambil kesimpulan?”
Aku mencoba meraih gelas tehku namun tak ada nafsu untuk menyeruputnya, kuletakkan kembali di meja.
“Aku yakin.”
“Yakin?”
“Tidak juga. Cuma aku kesal.”
“Kenapa kesal? Kesal sebagai pria egomu dipermainkan olehnya? Kesal karena takut bisa-bisa kau tak mendapatkan keduanya? Kesal karena harus menjadi korban ujicoba orang tuamu?”
“Tidak semuanya! Aku hanya kesal pada diriku sendiri.”
“Kenapa?”
“Aku tak tau. Kalopun aku tahu, aku tidak akan mengatakannya padamu.”
Aku berdiri dan meninggalkannya sendiri di kamarku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ULANGAN PAI KD I DEMOKRASI DALAM ISLAM SEMESTER GANJIL KELAS XII

SOAL HARI KIAMAT XI IPA