Kok Nikah, Syekh Puji?

Bulettin Fatawa Batam edisi ke-2
Bulettin Pencerah Umat

Tak terasa sudah hari jum’at lagi. Padahal ingatkah kita sepertinya baru kemaren kita sholat jum’at? Singkat sekali seminggu berlalu? Betapa cepat rasanya waktu berjalan tanpa pernah kita bisa rasakan indah dan nikmatnya. Sebagian waktu berlalu begitu saja. Membuat kita begitu terlena, waktu penjemputan akan segera tiba. Akankah kita siap menghadapinya?

Waktu yang telah berlalupun masih banyak tanda tanya. Apa saja yang telah kita lakukan? Apa saja yang telah orang lain lakukan? Apa saja yang telah terjadi di dunia? Apakah padi masih bisa dibuat nasi? Apakah monyet masih suka makan pisang?
Sebagian kejadian yang ada dan telah berlaku di sekitar kita dan dunia, ada yang kita lewati bagai angin lalu. Dan ada yang dapat perhatian kita, entah sejumput, entah penuh sebulat biji mata. Yang paling menghebohkan mungkin kejadian pernikahan seorang ustadz nyetrik di Semarang dengan gadis mungil di bawa umur.

Ya, pernikahan Syech pujiono dengan Lutfiah Ulfa, yang masih berumur 12 tahun, belakangan ini menjadi perbincangan hangat di semua media massa. Kita pasti mendapati hal tersebut setiap hari baik di media elektronik (TV) maupun media cetak (koran, tabloid, majalah)

Kemudian muncullah yang dinamakan ‘aksi anti Syekh Puji’. Bisa dilihat banyaknya orang yang mencerca pernikahan itu. Dari ibu-ibu RT, aktifis Komnas Anak sampai Ketua MUI. Bahkan sampai ada yang menuduhnya sebagai pelaku pedofilia (menyukai gadis belia). Tentu saja banyak kalangan lain yang menolak tuduhan itu. Lalu ramailah media massa mengangkat masalah ini dengan segala pro-kontranya.

Kalo sekarang ditanya siapa yang salah, mungkin semua orang akan mengacungkan telunjuk ke Syekh Puji (entah siapa yang menggelarinya Syekh?). Ya, salahnya sendiri dia masuk TV bahkan Infotainment hingga berita itu menyebar kemana-mana. Padahal sekiranya berita itu tidak tersebar luas, kejadian ini mungkin tak akan terjadi. Syekh dianggap telah melakukan tindak senonoh, kejahatan, perbuatan keji dan seambrek tuduhan lainnya.

Syekh Puji dituduh bersalah karena menikahi gadis di bawah umur. Dan terpaut jauh dengannya. “mosok sudah tua, nikahnya dengan gadis ingusan. Tak tahu malu!” lagian si Ulfa itu kan masih dalam usia sekolah. Masih dalam tahap usia bermain. Seharusnya dia asik bermain dan belajar dengan teman-temannya yang lain. Bila Ulfa akhirnya malah dinikahi seorang bapak tua sudah beristri pula berarti telah merampas hak bermain dan belajarnya. Lebih lanjut penuduh percaya bahwa Syekh Puji telah merampas kebebasannya sebagai wanita yang patut dihargai!

Padahal pada kenyataannya, pelaku pernikahan dengan anak usia dini bukan hanya syekh Puji, tapi mungkin ada ratusan bahkan ribuan di Indonesia. Ada banyak hal dan sebab yang melatar belakanginya. Mungkin kita akan bahas sebagian sebelum masuk ke tinjauan Islam terhadap masalah pernikahan ini.

Pernikahan Usia Dini
Sebenarnya pernikahan dengan gadis belia atau gadis di bawah usia banyak terjadi di seluruh Indonesia. Di beberapa di daerah jawa (Barat, Tengah, Timur) atau suku betawi, banyak perempuan di bawah umur yang sudah dinikahi dan tidak terjadi masalah yang berarti. Juga ketika yang menikah sama-sama masih dini dan masih di usia sekolah (pria maupun wanitanya). Kita belum meneliti daerah luar Jawa ex. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua Barat. Saya pikir di daerah-daerah itupun pernikahan di usia muda banyak terjadi. Andapun mungkin lebih tahu.

Bahkan sebagian besar daerah menyatakan, pernikahan dini adalah hal yang rumlah atau adat yang mesti dilestarikan. Asal sudah baligh (ditandai mimpi basah dan Haid), pria dan wanita sudah diperkenankan menikah dan memulai membangun keluarganya sendiri. Di beberapa suku tertentu, anak sudah ditunangkan sejak masih balita.

Puluhan tahun silam pun kita akan dapati orangtua-orangtua kita menikah di usia muda. Sebagian karena faktor budaya dan sosial setempat, sementara sebagian yang lain karena faktor ekonomi yang lemah hingga tak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

1. faktor budaya dan sosial setempat
Banyak suku-suku di Indonesia yang menghalalkan anak-anaknya untuk menikah di usia muda. Mereka beranggapan anak yang sudah lepas dari balitanya sudah layak hidup dengan orang lain. Di beberapa suku akan merasa bangga bila anaknya (walo masih kecil) dinikahi oleh pemuka suku atau kepala kampungnya. Secara status sosial mereka akan terangkat oleh pernikahan itu.

2. Faktor Ekonomi
Di sebagian desa di Indonesia tingkat pernikahan di usia belia tinggi karena ada pepatah “Daripada hanya menggangur di rumah dan memberatkan orang tua, lebih baik dinikahkan saja.” bagi orang kampung menikah adalah syarat melanjutkan kehidupan. Apalagi bila dapet juragan kaya, entah itu juragan jengkol ato bahkan lintah darat di kampungnya.

3. Kemacetan tingkat pendidikan
Tidak bisa dipungkiri masih banyak daerah di Indonesia yang para orangtuanya hanya bisa menyekolahkan anaknya hingga Sekolah Dasar saja. Bila berhasil paling mentok tingkat SMU. Jika tidak ada harapan untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi atau kuliah, banyak orangtua yang terpaksa merelakan anak-anaknya menikah muda. Diharap dengan segera menikah bisa segera mandiri. Bisa segera mencari penghasilan sendiri. Karena sekolah juga buat mencari kerja. Nah, (menurut mereka) kalo sudah kerja ngapain lagi sekolah?

Kalo diperdalam, ketiga sebab tersebut saling berhubungan dan berkorelasi. Di adat dan budaya tertentu, sekolah tidaklah dianggap penting. Jadi buat apa sekolah, lebih baik menikah dan langsung bekerja. Di kampung dan desa yang tingkat perekonomiannya rendah akan meremehkan masa depan (tipis harapan akan sekolah) dan kemudian akan membentuk budaya menikahkah anak di usia muda.

Namun jujur, bisa kita dapati banyak di antara para pasutri dini (atau beda usia) itu sukses kini. . Paling tidak mereka memang bisa cepat mandiri, baik dalam pencarian penghidupannya maupun dalam membesarkan anak-anaknya. Mungkin yang beruntung bisa naik haji di usia 40-an.

Pernikahan Usia di Bawah Umur Menurut Undang-Undang dan Syariat Islam
Lalu bagaimana sebenarnya pendapat Hukum Undang-Undang yang berlaku di negara kita dan Syariah Islam mengenai pernikahan tersebut? Kalau dilihat secara Hukum dan Undang-undang yang berlaku di negara kita, pernikahan ini merupakan pelanggaran di masalah usia. Usia wanita yang bisa menikah di Indonesia adalah 16 tahun sementara pria harus 18 tahun. Yang keluar dari batas itu bisa tidak diberikan surat nikah (berarti dianggap pernikahannya tidak sah) sampai pemberian sangsi. Tentunya akan dikembalikan kepada pasal-pasal yang berlaku.

Eniwei, karena kita memang tinggal di Indonesia dan sudah ada peraturan yang berlaku maka hormatilah dan sebisa mungkin laksanakanlah dan tidak melanggarnya. Walaupun UU itu adalah buatan manusia dan UU tidaklah mutlak benar 100%, ia hanya pembantu manusia yang berkumpul dalam satu lingkup yang sama dalam bermasyarat supaya lebih tertib dan damai.

Kecuali memang ada kasus-kasus tertentu yang membuat kita terpaksa melanggarnya. Kasus tertentu itu seperti misalnya karena adanya ke-3 faktor di atas tadi. Dan tentunya dengan berat hati dan banyak pertimbangan. Karena pastinya setiap peraturan menyangkut perihal orang banyak.

Maka sebenernya, masih sulit untuk memberlakukan peraturan tersebut di Indonesia. Karena apa? Tingkat kemakmuran yang belum seimbang. Tingkat pemerataan jalur pendidikan yang masih menumpuk di beberapa daerah di Jawa dan meninggalkan daerah lain. Banyaknya kemiskinan dan pengangguran di kampung dan desa dan tak adanya lapangan pekerjaan.

Simpelnya “kalo umurku belom 16 tahun sementara orangtua sudah berat membiayaiku. Jangankan untuk sekolah, makanpun berat. Apa yang akan kulakukan?”
“aku mau sekolah lebih tinggi, tapi tak terbangun sekolah di daerahku. Kalopun ada biayanya tinggi. Aku tak sanggup membayarnya. Sementara aku masih ada adik-adik kecil?”

“aku anak jurangan kambing, harta orang tuaku berlimpah untuk keluarga. Aku ingin membantu tetanggaku yang miskin. Kebetulan ia mempunyai anak gadis yang cantik. Bolehkan aku mencintainya, menikahinya dan menghidupinya dengan layak?”
Bukankah daerah-daerah di Kalimantan, Papua, Sulawesi bahkan beberapa di Jawa sekolah tidak ada. Kalopun ada banyak kaum fakir miskin yang tak mampu sekolah disana. Mau apa mereka? Bisa apa mereka?

Maka yang menarik untuk dikaji, kenapa kasus Syekh Puji ini sedemikian meng¬gemparkan, ya? Lebih daripada orang-orang lainnya yang bisanya hanya dianggap angin lalu belaka. Cukup aneh dan terlihat ada beberapa hal yang tidak biasanya. Begini, seandainya yang melakukannnya bukan seorang yang dianggap mewakili kalangan muslim (apalagi seorang ustadz), orang biasa saja, orang kampung, petani miskin, orang di dusun terpencil, kira-kira apakah masalahnya akan seramai ini?

Ya, karena saya menganggap lebih kental nilai politisnya ketimbang kajian hukumnya. Ada kesan yang sulit ditepis bahwa kasus ini akan merembet ke penghinaan sosok Rasulullah SAW. Sebab oleh banyak kalangan, beliau SAW sering juga dituduh sebagai pelaku pedofilia. Bukankah Nabi menikahi Aisyah yang masih berumur 6 tahun?
Sehingga ada kekhawatiran dari sebagian kalangan bahwa kasus ini menjadi semacam penggiringan opini untuk memperburuk citra Islam, khususnya sosok Rasulullah SAW, dengan cara mengekspose terhadap kasus Syekh Puji ini besar-besaran.

Pernikahan `Aisyah menurut Sejarawan
Di antara sebagain kaum Islam merasa tak terima bila Nabi Muhammad dikatakan menikah dengan anak di bawah umur. Penyangkalan dan bantahan pun diberikan dengan maksud membela Nabi. Sebagian pengamat bahkan menyebutkan bahwa Aisyah Ra. Dinikahi Nabi ketika sudah berumur 15 tahun, ada juga yang bilang 17 tahun dll.

Padahal semua sangkalan itu dibuat tidaklah berdasar dengan alasan dan dalil yang kuat. Riwayat pernikahan `Aisyah ra. dengan Rasulullah saw. sudah sangat populer sehingga hampir dipastikan semua sejarawan muslim memuat peristiwa tersebut di dalam karya-karya mereka. Disini kita akan menelusuri pemaparan beberapa sejarawan saja, tapi dengan kapasitas yang cukup representatif.

1. Al-Baladzuri (w.279H): "Rasulullah saw. menikah dengan `Aisyah di Mekah. Saat itu `Aisyah berusia 6 tahun -ada juga yang mengatakan 7 tahun--. Dan Rasulullah saw. tinggal serumah dengannya, saat `Aisyah berusia 9 tahun, yaitu pada bulan Syawal tahun pertama hijriyah". (Ansab al-Asyraf, 1/181).

2. Ibn Katsir (w.774H): "Pernikahan itu terjadi dua tahun.sebagian mengatakan tiga tahun sebelum hijrah. Ketika itu usia `Aisyah 6 tahun dan baru tinggal serumah dengan Rasulullah saw. saat usianya 9 tahun". (al-Bidayah wa al-Nihayah, 8/99).

Pendapat yang sama dikatakan oleh Muhammad ibn Sa`ad dan Ibn Jarir al-Thabari. Jadi para sejarawan klasik (ahli Sirah) hingga abad 8 hijrah sepakat tentang tahun pernikahan `Aisyah ra. dan usianya saat menikah (antara usia 6 atau 7 tahun), juga saat mulai tinggal serumah dengan Rasulullah saw pada usia 9 tahun.

Dari segi syariat Islam, tidak ada ketentuan usia minimal dalam masalah pernikahan. Sebagaimana tidak ada ketentuan usia yang baku tentang kapan seorang wanita mendapat haidh. Bisa saja di usia 15 tahun, tapi banyak yang di usia 10, bahkan di jaman sekarang ini di usia 8 tahun pun sangat banyak.

Banyak faktor yang mempengaruhinya antara lain: faktor alam, cuaca, iklim, makanan (makanan sekarang sangat mempercepat hormon pertumbuhan), bangsa, ras dan keturunan.
Bagi kaum Quraisy Arab (kaumnya Rasulullah Saw), pada usia 6-9 tahun anak perempuan sudah mendapat Haid yang berarti dia sudah layak untuk menikah. Saat dinikahi Rasulullah Saw. Aisyah sudah mendapatkan haid pertamanya. Walau pun begitu, Nabi Saw baru tinggal dalam satu rumah dengan Aisyah ketika berumur 9 tahun. Untuk membuktikan bahwa bukan seksuil semata yang dicari.

Syariat Islam tidak membatasi usia minimal pernikahan. Tapi bukan berarti Islam membenarkan bentuk kekerasan seksual dan pemaksaan pernikahan kepada wanita di bawah umur. Tentu tidak demikian. Keduanya adalah dua hal yang berbeda. Dalam Islam wanita benar-benar dihargai, dihormati dan diberikan tempat yang sesuai seperti para pria. Banyak hadist Nabi Saw dan ayat al qur’an yang menjelaskan hal itu. Mungkin akan kita bahas di episode-episode ke depan.

Jadi dalam masalah ini, pernikahan Syekh Puji dan Ulfa itu sudah sah dalam agama Islam, karena semua syarat dan ketentuan telah terpenuhi. Ada wali, 2 saksi, shighat (ijab Qobul), mahar dan sebagainya. Yang patut jadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah pernikahan itu bisa dilanjutkan atau tidak ketika tidak menjadapat surat resmi dari KUA?

Bagus dan bijaknya, kasus Pujiono itu perlu didekati langsung ke orangnya, bukan dibahas di media. Dirembuk dicari jalan keluarnya. Kalaulah bisa jadi anak angkat sementara dulu sembari sekolah ya monggo disekolahin dulu sampe selesai. Yah minimal SMU. Sementara itu pengasuhan boleh dulu dikembalikan ke orang tua. Atau boleh dilakukan pengasuhan bersama asal Syekh jaga diri, kasian kalo nanti sekolah sudah hamil. Tapi ya ndakpapa lha wonk istrinya. Hehe...

Sekarang mari kita nengok ke masalah lain. Bukan Cuma ke masalah Syekh Puji ini saja, karena bisa jadi ini cuma kerjaan orang-orang sakit hati yang memanfaatkan situasi, kebetulan kasusnya adalah tokoh yang dianggap kiyai, punya pondok pesantren, dan hidupnya cukup 'nyentrik', lalu menikahi wanita yang berusia 12 tahun. Kemudian dianggap usia segitu masih di bawah umur. Maka diheboh-hebohkan media massa sedemikian kompak.

Padahal setiap hari kita lihat berbagai kasus penyimpangan seksual di sekeliling kita. Mulai dari perbuatan homoseksual, lesbianisme (bencong dan banci), pornografi di kalangan SD dan SMP lewat HP dan Internet, seks bebas di SMU dan anak Kuliahan, beragam jenis pelecehan dan pemerkosaan, serta penjualan anak di bawah umur. Menarik untuk kita tanyakan, kenapa tidak ada yang ribut-ribut dengan kasus-kasus ini?

Coba lihat dengan mata, telinga, hati dan jantung anda. Mari ikut perbaiki bila anda bisa dan memiliki kuasa. Ingatlah segalanya akan ditanya oleh Yang Maha Kuasa.
Jazakallah terhadap ust. Ahmad Sarwat di Eramuslim.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ULANGAN PAI KD I DEMOKRASI DALAM ISLAM SEMESTER GANJIL KELAS XII

SOAL HARI KIAMAT XI IPA