Tak sengaja

Badanku pegal semua. Ingin rasanya kupejamkan mata untuk sementara. Mencoba menyandarkan punggungku yang tak terasa entah tulangnya dimana. Perjalanan tadi begitu menguras tenagaku. Lemah, lesu, tak berdaya. Baru kuminum segelas penuh sprite dan ashob. Biar kucampur dalam perutku. Semoga memberikan aku sedikit kekuatan. Namun mataku tak juga mau terpejam. Kututup, terbuka kembali. Rasanya enggan. Ada yang mencegahnya. Mungkin perasaan di dadaku yang begitu membara saat melihatnya. Entah bagaimana.

Pertemuan tidak sengaja yang kami-eh-aku lakukan dengan dia berbuah rasa. Rasa yang bagaimana itu pertanyaannya. Namun kenapa jadinya mata dan otakku tak mampu untuk melenyapkan bayangannya. Seolah sudah terpatri, terpaku dan terikat erat dalam sanubari dan pikiranku. Senyumannya. Tolehannya. Gerakkan tubuhnya. Harus kuartikan apa. Napas dan suaranya harus kuanggap apa. Lambaian tangan dan sapa serta salamnya kenapa tak hilang begitu saja seperti biasanya. Ada hal baru yang muncul, begitu cepat dalam sekilas namun tepat menancam di jiwa. Dihilangkan? Aku sedang mencoba!
Kenapa juga aku bisa bertemu dengannya. Tanpa disadari. Bukankah dia sudah bersuami? Bukankah dia sudah bersama seorang laki-laki? Kenapa aku masih saja mengharapnya? Apakah dia juga serupa mengharap padaku? Tentu tidak. Apa nanti kata orang. Apa nanti kata teman. Apa nanti kata jiwa. Apa tidak malu, sudah bersuami masih saja melirik laki-laki. Tapi benar, Rahmayanti Dewi memang melirik padaku. Bahkan bukan cuma itu, bibirnya pun tersenyum, lidahnya pun berkata. Salam serta sapa padaku. Wajarkah? Atau cuma aku yang menganggapnya sebagai sebuah ketidakwajaran yang patut dipertanyakan. Mungkin ya, sebuah ketidakwajaran terhadap diriku sendiri.

Bisakah aku menjadi hatinya kembali. Menggapai asanya dahulu. Menangkap mimpinya yang telah lalu. Atau aku cuma bisa terus bermimpi. Berkhayal dia akan kembali? Bermimpi dan berkhayal sendiri tak pernah bisa disalahkan. Undang-undang dalam negara di seluruh dunia pun tak ada yang mengikatnya. Mimpi dan khayalan adalah hak bebas dimiliki oleh setiap manusia. Asal jangan saja mimpi dan khayalannya yang buruk dilakukan dalam dunia nyata. Ada hukum di sana yang mengaturnya. Seperti diriku, kalau saja aku terus bermimpi mungkin suatu saat aku akan tertangkap.

Segala sesuatunya dimulai dari ketidaksengajaan. Ketidaksengajaan adalah hal yang lumrah terjadi pada manusia. Bertemu tidak sengaja, berpisahpun kadang tidak sengaja. Tidak sengaja menemukan uang di jalan. Tidak sengaja menemukan cinta di istri orang? Gila! Bukan. Ini bukan tidak sengaja. Ini adalah suatu peristiwa yang sudah dikehendaki bersama antara aku dan dia. Cinta kami bukanlah cinta yang timbul begitu saja. Sebuah cinta yang didasari oleh pengetahuan yang kami berdua miliki dan kembangkan. Sebuah cinta yang begitu sadarnya kami bina dan siram bersama-sama. Walau akhirnya harus tumpul, terpatahkan oleh sebuah hukum. Takdir, banyak orang mengatakan.

Bukan aku tak suka takdir. Takdir sudah mengaturku untuk bertemu dengannya, merasakan cintanya, mengartikan segala tindak tanduknya sebagai bentuk kasih sayang yang dilandasi cinta. Takdir sudah memberiku banyak hal membahagiakan diriku. Kini saatnya takdir memberikanku sisi yang lain dari dirinya. Bagai sekeping koin yang memiliki 2 sisi yang berbeda. Suatu saat tangan kita dapat sisi yang pertama. Suatu ketika, entah kapan, keping itu akan membalik dan kita akan mendapati sisinya yang lain.

Ketika kita harus bahagia mendapatkan sisinya yang indah, takdir harus juga kita terima dengan sabar sebagai sisinya yang lain. Toh, keburukan yang kita pikirkan ini bukan berarti benar-benar seburuk yang kita bayangkan. Sebalik­nya kebaikan, cintaku padanya yang begitu mendalam belum tentu sebaik yang kita pikirkan. Hanya Allah yang Maha Tahu atas segalanya. Manusia, aku, dia hanya bisa menerimanya dengan segala ketawakalan dan perjuangan yang ada.

Sekali lagi ketidaksengajaan selalu menghapiri manusia, menyapa dan bertanya. Saat aku pergi ke Swalayan Metro untuk berbelanja keperluan rumah, pasti bukan sengaja kalau aku bisa bertemu dia di sana. Rahmayanti Dewi memang ada di sana. Tentunya kali ini dan untuk akan datang, dia tidak akan pernah pergi sendirian seperti biasanya atau bersama kawan-kawan wanitanya. Bukankah suaminya selalu ada di sampingnya sambil menggandeng tangannya mesra? Kelihatannya dunia sudah jadi milik mereka berdua. Sementara aku dan manusia lainnya adalah penyewa yang harus juga ikut tersenyum melihat mereka berdua berbahagia. Aku tak sempat menyapa waktu itu.

“Hai...”
“Dewi, datang...”
Tergagap aku menoleh mencari arahan telunjuk tangan Adon. Adon menemaniku belanja waktu itu. Adon menyapanya terlebih dahulu.
“Mana..” setengah aku berbisik. Setelah semua yang telah terjadi malam itu pantaskah bagiku untuk menatap tepat di matanya seraya menyapa dan bertanya apa kabarnya?
“Assalaamualaikum. Ah, Ade Jamal dan Adon rupanya... sedang berbelanja pula?”
Basa-basi. Kutenangkan hati. Tepiskan tangan ke dahi. Keringat dinginku menetes.
“Iya, Bang Kifli. Sayuran di rumah habis. Kebetulan lewat Rob’ah jadi belanja saja di sini.”
Kataku. Lagi-lagi cuma basa-basi. Keringatku tak ada yang menetes kali ini. Dewi tersenyum pasi. Dia merapatkan posisinya ke punggung suami. Lengket. Rapat. Dahiku terasa panas sekali.
“Mesra sekali kelihatannya Abang Kifli ini?” Tanya Adon. Entah bertanya atau memastikan perasaanku yang kacau?
“Pengantin baru sering-sering berjalan Bang. Harus sering di luar rumah. Kalau di rumah terus bisa bahaya. Tahu sendiri kan anak Kairo. Langsung tancap saja. Haha...”
Adon seperti biasa bergurau. Di depan kami, saat perasaan berkecambuk di hati. Bang Kifli tertawa, terpaksa aku juga ketawa. Dewi diam saja.

“Iya.. Makanya Abang bawa Adinda Dewi jalan-jalan kemari, sekalian ada barang dan keperluan yang mau dibeli. Sudah dulu ya, Abang mau ke arah sana. Assalaamualaikum.”
“Waalaikum salam.” Diapitnya Dewi menjauh dari kami. Perasaan tenang kembali. Saat itulah Dewi menoleh dengan senyumnya. Gerakan tubuhnya. Dengus napasnya yang aku tahu dan aku hapal.

Adon menatapku. Mungkin dia mau bertanya kenapa aku diam saja. Padahal dia pasti ingin tahu apakah aku sudah sembuh atau belum. Aku cuma bertekad akan diam.
“Aku tak kan bertanya padamu, Mal. Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini. Pasti kau amat sangat cemburu padanya. Lebih baik kita cepat cari sayurannya. Setelah itu kita segera pulang. Aku juga tak tahan dengan suasana begini. Ok.”
“Thanks. Gue udah gak terlalu ambil pikir kok.”
“Bagus. Lagian kau mesti ingat. Perempuan tak cuma si Rahmayanti itu saja. Di dunia ini ada begitu banyak perempuan yang lebih menawan darinya. Kau boleh percaya dengan aku.”

Adon mungkin benar. Tak hanya Rahmayanti perempuan di dunia ini. Tapi Aku sudah tak ambil pikir lagi apa yang Adon katakan. Aku sudah di tempat sayuran. Ambil bawang, seledri, kubis dan kentang. Kita mau buat sayur bening nanti malam.
larilah sebelum kebalap!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ULANGAN PAI KD I DEMOKRASI DALAM ISLAM SEMESTER GANJIL KELAS XII

SOAL HARI KIAMAT XI IPA