Jangan Panggil Aku Gie


Pagi itu di ujung gang Jakarta tempo dulu. Jaman dulu belum ada gang buntu, yang ada gang boentoe.
“Aku bukan Gie, Aku Han! Aku gak bohong kok! Masak bohong di pagi hari gini? Pamali! Aku mah boong kalo kepaksa doank! Kali ini aku lagi gak kepaksa, jadi aku bener kan?”
Seseorang terpojok dicekam ketakutan. Ia dituduh dengan sebuah dugaan; ia bernama Gie!
“Ah, kau pasti Gie? Sudahlah, mengapa harus kau tutupi? Hari ini adalah hari keterbukaan. Revolusi! Tak ada rahasia. Tak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”
“Masak kita harus buka-bukaan? Malu ah!”
Njayus! Untung tempo dulu njayus masih belum dilarang.
“Eh bener ini, dunia ini sudah global. Bebas aja kita mau buka-bukaan. Buka pintu, buka jendela. Boleh... ditanggung bebas. Sudah tak ada lagi aturan yang melarang..”
“Masak... begitu? Aku tetap tak mau! Aku bukan Gie, jadi jangan panggil aku Gie!”
“Ya, ya terserah kaulah. Cuma aku ini lagi ada urusan penting dengan Gie. Kalau kau bukan dia, aku pergi saja...”
Sebelum jari kakinya melangkah.
“Hei, tunggu dulu. Gie mana yang kau maksud?”
“Gie La Nie, kau tahu dia?”
“Ah kalo orang itu, aku juga tahu... bisa aku tunjukkan pada­mu. Tapi hati-hati, banyak tentara preman di sekitar rumah­nya. Kau tahu kan? Katanya dia terlibat dengan beberapa pergerakan yang dilarang negara.”
“Justru karena itu aku ingin ketemu dia?”
“Kenapa? Kau termasuk anggota gerakannya? Kau bisa..”
“Stt.. Kau bisa jaga rahasia tidak?”
“Insya Allah..”
“Aku cuma pengen minta tanda tangan saja kok!”
“Gila! Dengan resiko ditangkap tentara? Kok bisa?”
“Kau tau kan dia jadi bintang pilem, masak minta tanda tangannya gak boleh? Mumpung dia masih dikejar-kejar tentara republik, aku ingin ketemu dia.”
“Oh ya pilemnya udah beredar di bioskop ya? Okelah mari kita pergi.. Aku juga jadi pengen dapat tanda tangannya.. Hehe.”
“Cepat, aku tak punya banyak waktu.”
“Memangnya kau punya banyak kerjaan yang berhubungan dengan waktu?”
“Tentu, aku tukang reparasi jam.”
“Baiklah naik saja mobilku.”
Sedan BMW terbaru jaman itu. Beroda tiga.
“Wah, di jaman pergerakan gini kau bisa dapat mobil BMW dari mana?”
“Dari penulis..”
“Oh..” gegetun..”Oi penulis! Harus sesuai dengan tema dan setting donk!”
Mobil BMW bergerak perlahan tapi ngebut melalui gang-gang yang jarang dilewati orang pacaran. Ngapain juga orang pacaran di gang-gang?
Bener, di sana-sini banyak polisi dan tentara yang lagi menyamar.
“Banyak sekali tentara yang menyamar.”
“Kau bisa tau dimana saja mereka?”
“Bisa, dengan sangat mudah..”
“Caranya?”
“Ada tulisan di baju mereka, ‘polisi lagi nyamar jangan ganggu!”
“Benar-benar menarik cara mereka menyamar.”
Setelah melewati Big Ben dan menara Eiffel mereka berdua sampai di sebuah jalan raya.
“Kenapa berhenti di sini?”
“Sekilas tadi aku lihat Gie.. Itu dia! Ayo kita kejar.”
Gie ternyata lagi mengendarai sepeda motor Vespa dengan kecepatan sedang. Vespa memang tak mempunyai kecepatan tinggi.
“Hei, Gie..”
“Berhenti... Gie! Aku ingin bicara..”
Mereka berpapasan. Gie menoleh, namun bukannya berhenti, Gie malah menarik gas. Ngebut. NB: Vespa tidak bisa buat ngebut.
“Gie...”
“Aku bukan Gie...Aku Joni!”
“Kok Joni? Kau itu Gie, Gie La Nie!”
“Aku Joni!”
“Perlambatlah Vespamu itu!”
“Tidak bisa, aku tidak boleh terlambat mengantarkan pilem ke bioskop!”
“Sialan dia tak mau mengaku, serempet saja vespanya Bung!”
Serempettttt..... Vespa terpental, mobil BMW terguling. Gie menghilang.
“Kenapa dia bisa menghilang?!”
“Tanya penulis!”
Jawaban penulis; Gie naek gunung Merapi.
“Kan lagi mau meletus?”
Mau itu belum tentu terjadi.
“Whatever! Cari Gie ke gunung Merapi!”
Ke Jogya. Jalanan ramai. Ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak.
“Kok ramai? Ada acara sekatenan ya?”
“Enggak, mereka gak tampak seperti orang yang lagi ada acara.”
“Mereka tampak menggenaskan.”
“Menyedihkan, mengharukan.”
“Mereka pengungsi!”
“Apa Merapi sudah meletus?!”
Mobil berhenti. Mereka berdua meng­hampiri bapak tua yang bawa barang yang tersisa.
“Permisi. Mau kemana, Pak?”
“Mau ke lapangan, Mas.”
“Ngapain ke lapangan pak? Nonton bola?”
“Iya Mas, kan Jerman lagi keserang pasukan sekutu. Jadi piala dunia di pindahkan ke Jogya!”
“Jadi Bapak jagokan negara mana?”
Barang yang tersisa dibanting ke tanah oleh si bapak, lengan baju dilinting. Sarung ditarik ke atas. Kuda-kuda.
“Mas-mas arep ngopo tho? Kok nanya yang aneh-aneh, nyiksa batin tauk! Saya ini pengungsi, kehilangan rumah, harta dan sanak keluarga, kok malah ditanya bela negara mana? Gundulmu itu mas!”
“Maap Pak kalo kepala teman saya ini gak ada rambutnya. Kita permisi pak..”
Tergopoh-gopoh mereka masuk kembali ke mobil. Memacunya dengan cepat.
“Laen kali yang nanya orang aku aja. Oh ya, kepalamu itu pakein wig. Menakutkan!”
Mobil sampai di bawah gunung Merapi. Gunung itu melepaskan Wedhus Gembel. Nampak ada beberapa orang mencoba mengejar dan menangkapnya. Lumayan daging wedhus, walau gembel tetep wedhus kan!? Juga seorang pendeta..
“Gembala-gembala yang tersesat...”
Yang pake wig garuk-garuk wignya yang berwarna kuning keemasan itu.
“Kenapa banyak hal aneh di sini?”
“Gak tahu. Ayolah kita naek ke gunung itu. Mumpung gunungnya sepi.”
“Itu karena penduduk diungsikan sama pemerintah ke tempat yang aman.”
“Kau mau ikut mengungsi?”
“Hei! Kita kesini untuk mencari Gie!”
“Sudahlah jangan marah, nanti rambut wigmu rontok.”
Mendaki gunung bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi mau mencapai puncaknya. Tinggi-tinggi sekali. Kiri kanan jurang.
“Liat ada tanda!”
“Ada jurang, jangan melompat!”
Tanda yang aneh.
“Ada lagi...”
“Bunuh diri? Lewat sini!”
Tanda yang lebih aneh.
“Itu Gie!”
Gie nampak sedang bertapa. Kakinya menyilang di udara. Tangannya berse­dekap erat di dada. Kepalanya tertancap di tanah. Kok bisa tau itu Gie!?
“Gie? Kau Gie kan?”
Kepala digali.
“Jangan panggil aku Gie! Bukankah aku sudah bilang dari tadi?”
“Trus panggil apa donk?”
“Panggil aku Joni. Gie itu pilemku yang gak laku tau? Aku pun stres, makanya aku bertapa di gunung ini.”
“Tapi gunung ini akan segera meletus!”
“Aku tetap tidak akan pergi. Aku sudah dapat wangsit dari Nyi Loro Kidul untuk berdiam di sini, sampai dia menyuruhku pergi. Aku ini juru kunci gunung ini.”
“Oh bocah edan! Nyi Loro Kidul gak bakal datang ke sini.”
“Tidak mungkin. Dia sudah janji padaku.”
“Lha wonk kita berdua tadi ketemu dia di Mall Malioboro kok.”
“Walah, jadi dia malah shoping?”
“Iya dan kamu bakal mampus kalo tetep duduk di sini.”
“Tapi... Kalo Joni sudah punya janji, harus ditepati.”
“Itu kan janji yang konyol! Kamu mikir donk, gak setiap janji kudu ditepati. Janji bunuh diri misalnya...”
“Sudah tinggalin saja pertapaanmu. Bertapa itu gak bikin pilemmu Gie laris. Mending kita jalan trus promosiin pilemmu.”
“Gimana Gie eh Joni?”
“Bener Juga. Ide yang bagus, aku setuju. Jadi kita segera turun.”
Bertiga mereka turun pakai Vespa Joni yang sudah diperbaiki di bengkel dengan sebuah jurang, tentunya setelah melihat Sunrise, Sunset dan Sunslik.
“Oh ya, kita belom kenalan, siapa namamu?”
“Aku Lee.. Tho Lee.”
“Aku Park Ji Sung.”
“Lahir di Korea ya?”
“Gak. Aku lahir di kebon haji Asung.”
Oalah!
“Lebih baik kita ke Bantul dulu, ada gempa di sana. Aku ingin melihat dan membantu kalau ada yang bisa dibantu.”
“Kalau tak ada yang bisa kita bantu?”
“Ya, kita menunggu sampe mereka mau kita bantu.”
“Kalau mereka tak mau kita bantu?”
“Lempar saja piringnya ke lantai. Biar gaduh, biar ramai.”
“Kau masih hapal naskah itu ya Jon?”
“Tentu. Itu kan pilem terlarisku. Gara-gara maen di situ aku jadi terkenal.”
“Kau tahu Jon, Aku juga terkenal lho!”
“Masak, dimana?”
“Di sini.”
Penulis maksa banget!
Bantul adalah kota penting di Jogyakarta. Di sana terletak makam-makam Raja Jawa, tepatnya di Imogiri.
“Masih ada aja yang nyekar ke makam-makam ya?”
“Mereka mikirnya gempa ini karena rajanya ada yang marah kali?”
“Walah, bisa ada gempa susulan nih?”
“Udah, tugas kita sekarang ngasih bantuan kepada yang membutuhkan.”
“Kau punya apa?”
Mobil BMW, Vespa dan pilem yang Joni bawa, rambut wig yang Tho Lee kenakan dilelang dan uangnya disumbangkan.
“Lumayan dapat 2000 LE. Lebih banyak daripada yang dikumpulin seluruh mas­yarakat Indonesia di Kairo.”
“Hus yang penting sudah nyumbang, sedikit banyak pasti dibales ama Allah.”
“Yang penting mah iklas. Banyak tapi gak iklas kan sama aja boong.”
“Kita kan gak bisa liat daleman orang. Anggep aja semua orang yang nyumbang itu ikhlas.”
Kamu juga nyumbang kan?
“Jadi promosiin pilemku gak?”
“Gak mungkin di sini. Mungkin di Jakarta.”
“Dijamin kalo kita berdua yang kerja, dipastiin beres.”
“Kalian punya nama asli kan? Aku Nicholas Saputra.”
“Saya Dadang, ini Ujang. Kita berdua direktur baru promosi pilem Gie.”
larilah sebelum kebalap!

Komentar

Anonim mengatakan…
wakakakakk..... dasar gelo..:D
Anonim mengatakan…
sugoiii.. nee...
gw sampe ngakak guling2nya lima kali baca yg ini... keep fighting....

Postingan populer dari blog ini

ULANGAN PAI KD I DEMOKRASI DALAM ISLAM SEMESTER GANJIL KELAS XII

SOAL HARI KIAMAT XI IPA