Kullu Sanah Wa Anta Huna

Bulettin Suara Gami edisi 61

Syahdan, sebulan setelah lokakarya berhasil dilaksanakan dan diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan nyata oleh PPMI (bukan Persatuan Pencari Musaadah Indonesia lho. Hadzihi pitnah! Ana mus Kadzibah! Ana Kadzib, he) dan para Stick Holder baik di Mesir maupun Indonesia. Dua orang cowok kece nan buruk rupa (?) berniat menyeberang jalan di depan gang Gami’.

Jalanan sedang ‘ramai sangat’ (keseringan nonton Upin-Ipin) mobil-mobil berseliweran layaknya mobil normal (?). Tak menyisakan ruang untuk diseberangi dengan aman sambil bersiul-siul ria. Seseorang diantara cowok itu yang bernama Ucok sementara yang lain Ucik. He. Arman aja deh. Biar ga jayus amat.

Mulut Ucok komat-kamit baca doa, dan kemudian hendak berlari kencang menuju keseberang, ketika melihat ada kesempatan. Namun ditahan oleh Arman. Tangan Ucok digenggam erat dan mesra seraya berkata,
“Jangan gegebah Ucok, kita belum Lc!”

Padahal sebulan sebelumnya, dalam keadaan yang sama posisi dan timingnya, Arman berkata,
“Jangan gegabah Ucok, kita belum kawin!”
Maksudnya kawin dengan pasangannya masing-masing. Gitu aja kok... Dipikirin. Hihi.

Ucok pun menoleh ke Arman lekat, seraya berkata,
“Jazakallah, Arman, Sobatku. Kau laksana Pahlawan tanpa huruf ’S’ bagiku di jalanan ini..”

Lalu mereka berdua sepakat menyebrang jalan melalui jembatan penyeberangan yang ada tepat di samping mereka berdiri (walah!). Yup, sebulan setelah acara lokakarya, puluhan jembatan penyeberangan didirikan oleh pemerintah Mesir bekerjasama dengan Al Azhar. Mulai dari Tajamuk Khomis sampai Gami’ dan Bawwabat. Tujuannya adalah untuk memudahkan para mahasiswa dan pelajar dan mengurangi angka kematian akibat jantung deg-degan setiap x menyeberangi jalan yang ramai.

Sementara di Mahattah Gami’ puluhan anak Indonesia menunggu bis jemputan mereka dengan sabar dan tertib. Di setiap lima menit, datang bus jembutan dari Mahattah Zahra langsung mengantar para mahasiswa Indonesia ke depan pintu gerbang Universitas Al Azhar, Dirasah.

Bus-bus jemputan itu adalah sumbangan dari para Stick holder di Indonesia untuk membawa para mahasiswa yang masih belum bisa masuk ke asrama Indonesia yang baru saja selesai dibangun dan ditempati di sebelah Mustasfa Husein.

Asrama Indonesia diposisikan tepat di samping kuliah selain untuk mempermudah pergi kuliah (karena tinggal jalan kaki) maupun untuk mengkondisikan para mahasiswa untuk selalu dekat dengan kampus. Sehingga bila-ada acara-acara organisasi bisa dilakukan tepat setelah pulang kuliah. Karena di asrama itu juga telah dibangun ruang pertemuan yang besar guna memfasilitasi kegiatan mahasiswa.

Ada juga gedung olahraga dari lapangan sepak bola sampai bulu tangkis untuk membuat kondisi para mahasiswa selalu sehat dan bugar.

Ucok dan Amran duduk di sofa Mahattah, setelah sebelumnya mengambil tiket di alat yang ditaruh tepat dipinggir jalan dengan gratis. Dengan tiket ini mereka bisa naik bus yang berfasilitas AC, kolam renang (he) dan toilet itu dengan aman tanpa perlu berdesak-desakan, bau bawang apalagi berdiri dengan riang (?).

Sambil melihat tiket yang bertuliskan no tempat duduknya, Ucok berkata,
“Man, Alhamdulillah ya setelah ada fasilitas ini tak ada lagi sobat-sobat kita yang tidak datang ke kuliah.”

Arman memegang pundak Ucok,
“Yah, dan itulah seharusnya yang terjadi. Kita adalah mahasiswa. Dan tugas mahasiswa sesungguhnya adalah belajar dan pergi kuliah.”

Ucok kembali berkata,
“Benar. Dan dengan kuliah rajin setiap hari, aku yakin semua kita bisa lulus dengan nilai memuaskan..”

Bus pun datang. Semua anak yang telah memegang tiket memasuki bus dengan memejamkan mata, menikmati hembusan angin sejuk AC dari dalam sana dan kejedut pintunya...Ouch!

Ucok duduk dan langsung membuka tasnya, mencari al quran dan membacanya. Sementara Arman meng-onkan screen on touch di depannya. Di setiap kursi ada fasilitas internet yang bisa digunakan untuk melihat jadwal pelajaran dan jadwal ujian yang sebentar lagi dilaksanakan.
Jalanan pun terasa lapang karena hati merasa nyaman. Rasanya pun cepat sampai ke tujuan.

Gerbang Al Azhar nampak lebih megah dan indah karena baru saja dipugar. Pemugarannya menyertakan semua pihak terutama para masisir yang memiliki bakat menghias gerbang kampungnya setiap Agustusan.
‘Ahlan wa sahlan biqudumikum bi Azhar As Syarif’ adalah tulisan khat indah berwarna kuning emas yang dituliskan oleh pemenang lomba khaligrafi itu sangatlah menawan.

Sementara gedung Azhar sudah dicat ulang oleh semua mahasiswanya. Tak ada satupun yang rela dan tega (duile) melepaskan diri dari kerja bakti yang dilangsungkan Azhar sehari setelah lokakarya dilakukan. Bunga-bunga berbagai macam warna dan wanginya pun ditanam bertebaran di seluruh taman Azhar.

Ucok dan Amran bergegas turun dan menyusuri lorong kampus yang berwarna-warni. Menaruh sebagian buku dan barang di rak-rak penyimpanan. Dan pergi ke ATM untuk mengambil minhah bulan itu.

Untuk lebih mempermudah pengambilan beasiswa, Al Azhar berinisiatip membuka ATM disetiap gedung. Selain untuk mengambil minhah dan kiriman dari orang tua masing-masing mahasiwa yang tidak ada potongannya sama sekali karena sudah bekerja sama dengan seluruh bank-bank yang ada.
ATM tersebut juga berfungsi untuk membeli buku, mengambil tasdiq, bahkan untuk membeli tho’miyah bil baid dan kibdah bil laban.

Amran mengambil sedikit saja uang minhahnya, sebagian ia tabung untuk ongkos Haji tahun depan. Dan memang para broker juga telah menaruh fasilitasnya khusus, bagi siapa yang ingin haji-umroh atau tiket pulang ke Indonesia. Ada tabungan khusus untuk itu yang diawasi langsung oleh KBRI, PPMI dan organisasi Independent. Hingga hal-hal yang tidak wajar bisa diketahui dengan cepat dan bisa diselesaikan dengan baik.

“Jadi kau pergi haji, Man?” tanya Ucok sambil menggigit Kibdah yang tadi dibelinya. Keduanya lagi naik ke lantai 4, dengan lift.
“Insya Allah, kebetulan ortuku juga pergi. Dan kau tau tidak, ortuku membawa calon istriku yang cantik jelita itu! Kami akan menikah di tanah suci. Dalam doa jutaan jiwa yang mengelilingi ka’bah!” mata Arman berbinar-binar. Bahagia. (bagi masisir, hal yang paling membahagiakan mereka = menikah!)

NB. Keduanya bercakap-cakap selalu dalam bahasa Arab atau Inggris. Karena ada ketentuan wajib menggunakan bahasa arab-inggris selama belajar di Mesir. Barangsiapa yang melalaikannya akan di...jemur di padang pasir, he.

“Alhamdulillah, aku turut senang, Sobat. Semoga kau menjadi keluarga Sakhonah...But, dont ever-ever forget Me...”
“Yeah, I’ll miss u, Bybe...” Arman menggenggam tangan Ucok lagi erat. Sampai kibdahnya terjatuh.

“Eddah! Mamnu’, haraamm...jatuhin kibdah di kampus...kotor!!”
Teriak ammu yang sering membuatkan teh buat para doktor. Dengan sigap dia membersihkan kedua orang itu, eh kibdah itu dari lantai. Mengepelnya. Hingga lantai itu jadi putih mengkilat kembali.

“Ta’ala yabni...hadzihi hiya ghoromah ilaikuma...miatu junaih!”
“Waah...” teriak Arman dan Ucok histeris. Minhahnya dipotong deh. Tiap ada kesalahan ada dendanya, dan denda akan memotong minhah. Namun sebenarnya tidaklah jadi masalah karena minhah Azhar naik hingga $100 perbulan. Namun mereka akan merasa sangat berdosa kalau melakukannya dua kali.

Ucok dan Armanpun memasuki kelas. Kelas akan otomatis terkunci pintunya bila bila jam belajar sudah dimulai. Dan tentu saja, setiap keterlambatan mahasiswa ada sangsinya baik kena denda maupun dikurangi nilainya. Bahkan bagi yang keseringan melanggar akan diberikan kerja sosial bekerja di dapur umum Azhar yang memberikan lunch dan Diner bagi para mahasiswa yang ingin melembur belajar di perpustakaan.

Kelas dimulai dengan absensi dari duktur pembantu. Karena persontase mahasiswa yang datang semakin melonjak dari hari kehari, Azhar memutuskan untuk melebarkan kelas tahun depan, memberi AC dan laptop di setiap meja.

Doktor pun datang dan memulai pelajarannya. Pelajaran jadi mudah dipahami karena para mahasiswa Indonesia sudah dibekali les dan kursus khusus dalam mempelajari bahasa arab dan amiyah. Les dan kursus itu diselenggarakan secara kontiyu di masing-masing kekeluargaan yang bekerja sama dengan Nil for Teaching Arabic dan Azhar secara gratis. Bahkan bila masih dirasa kurang, para pengajar akan datang ke rumah dengan modul-modul yang lebih konferensip (sunda dah).

Selain itu pengajaran di Azhar sudah menggunakan laptop dan proyektor sehingga tiap-tiap bagian yang sulit dipahami jadi lebih mudah. Juga ada ringkasan-ringkasan khusus dari para Doktor bukan untuk mempermalas tapi untuk mempermudah materi bahasan yang diberikan. Anak–anak pun mengikuti kuliah dengan semangat dan penuh kegembiraan karena masa depan yang lebih baik.

Masa depan terlihat lebih cerah, setelah ada jaminan dari pemerintah RI baik dipusat maupun daerah untuk mempermudah lulusan Azhar dalam penerimaan kerja. Baik yang ingin mendaftar sebagai PNS maupun pekerjaan lainnya. Bahkan ada bantuan-bantuan khusus (dana dan SDM) bagi yang ingin membuat pondok pesantren, sekolah-sekolah, BMT, Bank Syariah sampai Tour dan Travel.

Jadi, para mahasiswa tidaklah lagi perlu ketakutan setiap akan lulus kuliah. Bahkan mereka semangat dan berlomba-lomba untuk segera lulus dan kemudian bekerja sesuai dengan minat, bakat dan bidangnya masing-masing. Untuk yang tidak ingin langsung bekerja setelah Lcpun, Azhar membukan kesempatan lebar-lebar di S2nya, walaupun nilai akhirnya makbul. Sementara untuk universitas lain, selama masih di Mesir tidak dipungut biaya sama sekali (ngarep banget..)

Karena banyak kemudahan dan keenakan, akhirnya kedua tokoh kita itu tertidur pulas. Dan terbangun ketika bentakan Doktor menggema...

“Ya Indunisi...Hal Ta’tuna likai Tanamun?!
Kullu Sanah Wa anta Huna Miroron!”
*cerita ini fiktip belaka, kalau sama dengan mimpi anda, bangunlah!

See more http://achoer.multiply.com

Yang, I Lop U

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ULANGAN PAI KD I DEMOKRASI DALAM ISLAM SEMESTER GANJIL KELAS XII

SOAL HARI KIAMAT XI IPA