Bayar Fidyah memang Indah


Beberapa hari yang lalu, aku dan istriku membayar fidyah. Selama bulan suci Ramadhan kemaren, my beautiful wife Cuma bias berpuasa sebanyak 4 hari. Sementara 26 hari laennya bolong. Semua itu dikarenakan istriku hamil. Kebetulan pula hamilnya masih muda, waktu itu kalo tidak salah masuk bulan ke-3. masih teller-telernya, mabuk gitu.

Ga bias dipaksain. Yang 4 hari aja bener-bener dikuat-kuatin. Walo masih muntah-muntah. Karena ga pengen terlalu maksain. Lagipula dapet rukhsoh (keringanan), akhirnya ya dibatalin aja daripada malah kenapa-kenapa.

Menurut pendapat ulama, kalo ga bisa berpuasa karena udzur syari berupa hamil maka bayarnya ada 3 macam cara:
Pertama : bayar pake puasa juga sebanyak hari yang ditinggalkan
Kedua : bayar puasa pake fidyah. Yaitu memberi makan fakir miskin sejumlah tertentu sebanyak pengeluaran harian kita
Ketiga : bayar pake puasa dan fidyah.

Emang iktilaf ulama sih. Perbedaan pendapat para ulama berkaitan pada : apakah si ibu ditakutkan membahayakan janin atau tidak kalau berpuasa. Kalo membahayakan ibu saja, maka bayar puasa dan bayar fidyah. Tapi kalo membahayakan ibu dan anak maka fidyah saja.

Kalo aku dan istriku sih milih bayar dua-duanya aja. Lebih aman kata orang. Walo dalam hati kecilku ama pengen dia fidyah saja, soalnya bakal repot bayar puasanya karena bakal ada nifas, menyusui dan mungkin ntar hamil lagi. Hihi...dasar bapaknya ya?
Nah, pengalaman bayar fidyah ternyata indah.

Kebetulan kami menyimpan uang fidyahnya selama di Batam. Terutama karena kami kebingungan mana sih orang Batam yang miskin. Hehe. Nah, setelah kami pindah ke Lampung kesempatan bayar fidyahnya terbuka lebar. Karena di lingkungan sekitar kami banyak yang kekurangan.

Kami hitung uang fidyah selama sehari Rp. 15.000 X 26 hari = Rp 390.000
Kami genapin jadi Rp 450.000
Trus kami bagiin pada:
1. Bibiku yang kebetulan suami baru keluar dari penjara karena banyak utang sementara anaknya banyak. Bibiku sendiri ga punya pekerjaan. Makanya ketika dapetin uang (aq kasih Rp 200.000 sendiri) dia nangis sampe piring makannya waktu itu tumpah ke lantai.
2. Bibiku yang laen. Suaminya hanya berdagang saat hari pasaran.
3. Ibu dari suami bibiku yang laen itu. Ia membuka kios kecil di depan rumahnya. Namun masih kekurangan.
4. Mas Mat, tetanggaku yang baru tabrakan. Kakinya luka cukup parah. Sementara motornya harus dijual untuk membayar biaya pengobatan, pekerjaanya sebagai sales pun lenyap.
5. Mbah Alim, tetanggaku yang ga punya pekerjaan lagi. Dulu ia penjual pecel yang jadi langgananku.
6. Eka, keponakanku yang baru aja melahirkan. Suaminya hanya buruh kasar.
7. Pak Syawal, tetanggaku. Ia ga punya pekerjaan sama sekali. Usianya sudah tua banget. Hanya bisa menggantungkan diri pada orang lain.
Saat aku dan istriku memberikan uang yang hanya 450 ribu itu, kami mengelus dada, kalo saja kami punya uang lebih banyak tentunya lebih banyak orang lain yang bisa dibantu. Walo yang laen (selaen bibiku yng pertama) cuma dapet 20 atau 30 ribu, ternyata udah dianggap besar dan sangat mereka butuhkan. Banyak yang nangis saat menerimanya.

Kami pun menangis antara senang dan haru. Senang bisa bantu sodara2 kami. Haru karena menyaksikan banyak orang disekitar dalam keadaan kurang mampu.

Betapa Allah benar memberikan kewajiban fidyah ini kepada kita. Dengannya kita mampu membantu orang lain yang membutuhkan.

Kalo saja semua orang yang hamil/menyusui dan wajib fidyah laennya melakukan hal yang sama betapa indahnya.

Kalo saja, sedekah, infak dan zakat juga didistribusikan dengan baik....
Allahu Akbar!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ULANGAN PAI KD I DEMOKRASI DALAM ISLAM SEMESTER GANJIL KELAS XII

SOAL HARI KIAMAT XI IPA