Novelku Bab III

Bab III

Diam-diam Aku tertawa geli, pikirku, “Lelaki yang memperistrikan Rahmayanti Dewi sungguh beruntung. Sudah jelas cantik, kaya, Anak seorang pejabat lagi. Apalah lagi yang kurang? Kesolehan juga tidak lagi diragukan. Sungguh benar-benar seorang laki-laki yang beruntung.”

Entah aku ini sedang iri, kesal atau apa. Pastinya perasaanku kacau tiada tara. Seperti tidak merelakan kepergiannya meninggalkanku. Aku sendiri tak tahu dan mengerti perasaanku seperti apa padanya. Kagum, suka atau sudah pada tahap cinta? Dari dulu aku anggap dia kawan belaka, tak kusangka aku bakal jadi suka dan jatuh cinta. Salahkah?

Aku maklum bahwa dengan kedudukan Rahmayanti Dewi sebagai Anak pejabat terpandang betapa pun gantengnya aku, tapi menghadapi orang kaya dan sepenting itu sepertinya, aku pasti kalah. Tidak akan sebanding. Setahuku aku tidak akan sekufu dengannya. Padahal itu adalah salah satu syarat untuk menikah dalam Islam. Oleh sebab itulah aku sengaja tidak ingin menghadirkan dirinya di hatiku secara utuh. Kupikir cara ini benar-benar sangat cerdik, ternyata aku salah. Aku tidak bisa mengenyahkannya bercokol di hatiku. Malah semakin besar.

Dalam banyak hal, aku bisa menahan perasaan, baru sekarang aku merasa tak mampu memendam. “Jika saja aku mau ungkapkan perasaanku lebih dahulu, bukankah urusan ini tidak akan terjadi seperti ini.” Kucoba untuk bersabar, melupakan dan tersenyum.

Pandanganku beralih ke arah suami Rahmayanti Dewi yang bersanding di sampingnya, senyumku mendadak lenyap, dalam hatiku berkata, “Enak benar kau bersanding dengannya! Aku yang lebih dahulu mencintainya!”

Adon yang berdiri di sebelahku berdehem, katanya dengan tersenyum, “Hei kamu tidak lagi sedang memikirkannya bukan?”

Aku terperanjat. Masya Allah, dia sudah jadi istri orang! Bagaimana aku masih berpikiran yang macam-macam? Sudah saatku aku menyerah pada takdir yang lebih menentukan. Allah sudah bilang kun pasti fayakun jadinya.

“Kenapa aku memikirkan dia? Bukannya dia sekarang sudah menjadi istri orang?!” teriakku hampir tidak sadar. Orang yang hadir pada acara walimahan itu serentak memandangku, termasuk Rahmayanti Dewi. Dia tersenyum padaku, nampaknya dia tidak mendengar apa yang aku katakan. Syukurlah.

Dengan tertawa Amin yang datang juga berkata, “Apabila kamu memang tidak lagi memikirkannya, kenapa kamu harus berkata dengan nada seperti itu? Harusnya kamu rela melepaskannya. Betapa pun Rahmayanti Dewi juga bukan Anak kecil, dia bisa memilih pasangannya sendiri?” Amin tertawa dengan lembut, tapi ucapannya setajam sembilu.

Para pengunjung sama melengak, mereka menduga aku pasti tidak dapat menerima olok-olok semacam itu. Dan memang begitu kenyataanya, tapi aku mencoba setenang mungkin. Toh aku pun tak kuasa merusak acara ini dengan bertengkar dengan Amin.

Kucoba untuk tetap tenang-tenang saja, ucapku dengan tersenyum, “Setiap kawan yang aku kenal adalah kawan selama hidupku. Tidak ada yang kuanggap lebih istimewa ketimbang yang lainnya. Lagipula hidup ini pun adalah pilihan. Kita tidak akan sanggup melarang orang lain untuk memilih apa yang dianggap baik untuknya.”

Aku teruskan, “Selama ini kami adalah teman baik. Seorang teman yang baik pasti akan merelakan temannya bahagia, apapun resikonya.”

Ucapan ini ternyata berhasil gemilang sehingga banyak di antara pendengar itu sama memuji diriku, aku pun senang. Kenyataannya hatiku bergetar dan perasaanku bagai dicabik-cabik pisau yang tajam.

Tapi Amin nampaknya belum mau menyerah. Dari sejak kami mau berangkat dari rumah tadi, Amin selalu bilang padaku untuk ungkapkan perasaanku yang terakhir pada Rahmayanti Dewi. Namun segera aku tolak karena itu pikiran gila dan berbahaya. Bagaimana jadinya kalau pernikahan ini tidak jadi digelar. Semua orang akan merasa malu dan gusar.

Dengan gusar Amin lantas membisik, “Huh, sudah jelas kau cinta dia setengah mati, masih aja kau diam. Kau pasti akan menangis di rumah nanti. Hehe...”

“Jika gue memang merasa sangat suka padanya, tentu sekarang aku takkan hadir di sini,” jawabku acuh.

Mendadak Amin juga ikut bicara, “Hm, kalau orang lain, bilamana dia jatuh cinta pada seseorang tentu dia sendiri akan merasa malu untuk datang, tapi kau masih mampu bicara apa yang bukan di hatimu, huh, hatimu yang tebal ini sungguh jarang ada tandingannya.”

“Hahahaha!” terpaksa aku bergelak tertawa. Diam-diam aku menghela napas kekesalan, akan tetapi siapakah yang dapat menyelami penderitaan batinku? Orang lain hanya dapat melihat lahiriahku sedang tertawa gembira. Pastinya Aku tak ingin percakapan ini tambah panjang, ingin segera kuhentikan, “Untunglah gue memang punya hati yang tebal untuk datang....” desisku.

Kuharap Rahmayanti Dewi dan suaminya memang benar-benar tidak mendengar apa yang kami ucapkan. Kalau tidak tentu akan sangat merepotkan dan memalukan.

“Ya, paling sedikit Jamal masih punya keberanian dan kejantanan!” demikian tiba-tiba seorang berteriak.

Dari tempat nongkrongku bersama teman-temanku, dapat melihat dengan jelas yang berteriak itu ialah Anjani Kahrubai, teman serumah Rahmayanti Dewi. Terpaksa kami pura-pura tidak tahu, tapi dalam hati kami menyadari tidak boleh bicara lebih lama lagi tentang hal ini, lama-lama memang bakal ada keributan di pesta ini.

Sebaliknya Anjani Kahrubai tersenyum simpul padaku, teriakannya tadi bisa saja didengar oleh banyak orang. Kenapa orang ini tiba-tiba datang. Apa ia dengar apa yang telah kita bicarakan barusan. Tapi entah didengarnya atau tidak, bila tak perlu bicara kenapa harus ikut campur.

Tiba-tiba Anjani Kahrubai berseru, “Ah kenapa kalian malah bicara kian kemari. Walau bicara sekian lama tetap saja akan sukar menyuruh Jamal untuk mengakui perasaannya, kukira lebih baik kalian berdua makan saja, biarlah aku bicara dulu dengan Jamal.” Dengan penuh tanggap Adon dan Amin pergi ke tempat lain dan mengawasiku dari kejauhan. Aku merasa bodoh dan diperhatikan.

Aku memandang Anjani Kahrubai dengan perasaan tak menentu, lalu menjawab dengan tersenyum, “Kamu pikir dapat membuat aku mengakui perasaanku padanya?”

“Mengapa tidak?” kata Anjani dengan ramah. “Meski kita belum terlalu bersahabat, tapi sekarang kita adalah sahabat.”

Aku hanya tersenyum tanpa menjawab.

Segera Anjani berseru dan tertawa, “Rasanya kamu pasti tidak mau berbicara berdua dengan wanita. Aku bisa panggilkan temanku lainnya.” Katanya sembari beranjak pergi.

“Bila kurang hati-hati berbicara berdua saja dengan wanita adalah berbahaya. Hehe... tapi tak usahlah kamu panggil temanmu yang lain. Dipaksa beberapa wanitapun, aku gak akan mengaku.” ucapku dengan tertawa. Dia kembali mendekatiku. Bimbang.

“Habis kalau begitu, cepat aja kasih tahu ke dia tentang perasaanmu. Kenapa harus dipendam, apa tidak menyakitkan?” tanya Anjani Kahrubai.

Aku terdiam, kupersilakan Anjani duduk di kursi sebelahku.

“Menurut pikiranku,” kataku setelah diam sejenak, “pada hakikatnya urusan ini tidak perlu diselesaikan, biarlah semuanya berjalan sesuai hukum Tuhan. Dia sudah mengikat janji pernikahan di hadapan penghulu dan semua orang. Tidak mungkin lagi bisa dibatalkan.”

“Tidak, urusan ini harus diselesaikan,” kata Anjani lagi, “Jika kamu tidak punya jalan keluarnya, aku punya suatu cara yang baik.”

“Apa itu,” ucapku.

“Begini, kamu cuma perlu mengungkapkan perasaanmu padanya, apabila kamu dapat melaksanakannya maka selanjutnya selesai masalah,” tutur Anjani Kahrubai. “Tapi kalau kamu tidak sanggup melakukan hal ini, maka rasa sakit hati akan terus kamu derita”

“Trus apa menurutmu kalau aku ungkapkan perasaanku padanya, masalah akan selesai dan happy ending gitu? Bukannya masalah akan bertambah besar dan sulit?”

“Kita gak butuh endingnya, Mal. Kita cuma butuh happynya aja. Prosesnya aja.”

Sampai di sini, barulah Aku memahami duduknya perkara, rupanya Anjani sengaja memancingku untuk mengakui perasaanku. Namun aku juga bukan orang dungu, setelah berpikir sejenak, kemudian aku menjawab, “Tapi aku lebih suka happynya buat Rahmayanti aja.” Aku tidak ingin memperpanjang percakapan yang kurasakan semakin menusuk-nusuk hatiku.

“Sudahlah aku gak ingin membicarain hal ini lagi. Masalah ini udah gue anggap selesai. aku sekarang cuma ingin memberinya ucapan selamat saja, selanjutnya aku akan pulang.” Aku melangkah maju menuju pelaminan, tempat duduk sang pengantin. Dadaku semakin tak kuasa bergemuruh dan berdebar-debar.

Mendadak terdengar Anjani Kahrubai berkata, “Jamal, kumohon dengan sangat, janganlah engkau maju lagi, janganlah melukai hatimu lagi. Aku... tidak ingin melihatmu terluka. Mengucapkan selamat tidak akan mendatangkan kebaikan apa pun bagimu, untuk apa kau masih pikirkan dirinya.”

Aku tersenyum hambar, Aku sudah tahu sejak lama kalau Anjani Kahrubai menyukaiku, namun ini adalah jalanku sendiri. Aku yang harus menghadapinya sendiri. Namun Anjani masih saja berkata, “Selamanya aku tak pernah menghendaki kebaikan apa pun darimu, bukan? Kini aku mohon jangan lakukan itu. Yang penting asalkan kau….”

“Kau tahu Anjani, apa pun juga yang kau lakukan terhadapku tetap aku tidak menyukaimu,” seruku dengan suara gemetar. Aku ingin suaraku kali ini didengar oleh Rahmayanti Dewi. Supaya ia tahu bahwa hanya dia di hatiku.

“Sekalipun kau mati bagiku, yang kucintai tetap Rahmayanti Dewi. Untuk apa kau mesti lakukan semua ini dengan sia-sia belaka?” kataku seraya berbisik padanya.

Sebenarnya aku tidak ingin melukai perasaan Anjani. Aku tahu perasaannya padaku begitu besarnya. Mungkin besarnya sama dengan cintaku pada Rahmayanti Dewi. Tapi sayang keduanya bertepuk sebelah tangan. Dunia ini selalu saja dipenuhi hal-hal yang aneh. Apa yang kita inginkan belum tentu kita dapatkan. Apa yang tidak pernah kita pikirkan tiba-tiba jatuh di tangan.

“Nah, Anjani, kau dengar tidak ucapanku?” seruku perlahan.

“Dengar, sudah kudengar dengan jelas” jawab Anjani Kahrubai dengan tersenyum rawan.

“Dan kau masih tetap ingin cintaku walau kau harus mengantarkan kematian?” tanyaku berpepatah pula.

“Apa kau kira mati sangat menakutkan bagiku?” tanya Anjani.

“Tapi jangan lupa, setiap orang hanya punya satu nyawa, sekali keluar tidak akan masuk kembali. Semua orang hanya punya satu cinta. Sekali terlontar akan sulit diambil lagi.” Kataku sambil menatap antara Anjani dan Rahmayanti yang sedang tertawa dan menangis.

“Betul, nyawa dan cinta memang sangat berharga dan tidak mungkin ditukar dengan benda apa pun juga ....” ucap Anjani dengan tersenyum.

“Sebab itulah apabila aku ingin mati dan cinta bagi seseorang, maka kematianku dan cintaku juga tidak perlu syarat penukaran apa pun darimu. Apakah kau baik padaku dan mencintai aku atau tidak, bukan soal bagiku.” Anjani Kahrubai menangis tersedu-sedan dan tidak sanggup bicara lagi. Aih, kenapa jadi begini. Aku tidak mengira dia betul-betul mencintaiku.

Akhirnya Aku sendiri yang tidak tahan, “Sungguh kamu seorang perempuan sejati! Selama hidupku tidak pernah tunduk kepada siapa pun juga, tapi terhadapmu .... Aih, tadi aku benar-benar telah salah padamu, sekarang dengan setulus hati kuminta maaf padamu. Maafkan aku ya... tapi aku harus tetap mengucapkan selamat padanya. Ucapan selamat ini tidak untuk menyakiti hatiku sendiri, tapi untuk membuktikan padanya aku adalah laki-laki yang berjiwa besar dan sejati pula. Kuharap kau mengerti kali ini.”

Anjani menjawab dengan tersenyum hampa, “Ya, aku mengerti. Terima kasih kau telah sudi mendengar­kanku!”

Berbareng pula aku melangkah maju lagi setindak. Rahmayanti Dewi dan suaminya telah berada tepat di depanku. Dalam pikiranku masih terkesima oleh keberanian Anjani menyatakan perasaannya padaku bagai tidak kenal akibat itu. Tak tersangka olehku bahwa Anjani juga berwatak sama denganku, bila perlu juga nekat dan berani menyatakan cinta.

Tapi tentunya aku masih di bawahnya. Aku sama sekali belum berani menyatakan cintaku pada Rahmayanti Dewi. Tapi aku sudah putuskan biarlah perasaan ini aku pendam saja. Sampai pada suatu ketika, aku yakin bakal mendapatkan cinta yang serupa. Saatnya ucapkan selamat menempuh hidup baru padanya.

Menyaksikan kursi pelaminan nan indah itu, dengan ornamen khas Jawa Tengah. Teringat pada Rahmayanti Dewi yang berada di sana, Aku jadi terkesima, hatiku serasa dipuntir-puntir. Selang sejenak, mendadak aku dapat pikiran, “Mengapa aku harus menderita lantaran dia? Huh, persetan!”

Pada waktu Rahmayanti Dewi berada di sisiku dulu, sedikit pun Aku tidak merasakan sesuatu, tapi ketika dia berada di sisi orang lain, mendadak Aku merasakan Ramayanti Dewi jauh lebih penting daripada apa pun juga. Aku sendiri tidak paham mengapa Rahmayanti Dewi bisa berubah sedemikian penting bagiku, sebelum ini mimpi pun tak pernah terpikir olehku bahwa aku akan merana lantaran dia. Aku merasa diriku benar-benar tolol dan gila.

Manusia memang aneh, jika ada sesuatu yang tidak dapat diperolehnya akan dirasakannya baik, tapi bila sesuatu itu sudah diperolehnya justru tidak tahu cara menyayangi dan menghargainya. Bilamana kehilangan, ia menjadi menyesal pula. Mungkin sebab itulah manusia selalu lebih banyak menderita daripada bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ULANGAN PAI KD I DEMOKRASI DALAM ISLAM SEMESTER GANJIL KELAS XII

SOAL HARI KIAMAT XI IPA